Jumat, 12 Januari 2018

Studi Naskah Tafsir_As-Sya`rawi_ An Nisa` 1-3_Poligami

Tafsir As-Sya`rawi An-Nisa 1-3 (Poligami)
Disusun Oleh : Muhammad Fadhlan Syaifudin, Muhammad Muthiurridlo, Ikrom Najibuddin
Fakultas Ushuluddin
Institut PTIQ Jakarta



 PENDAHULUAN
Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan hanya satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara satu kaum dan kaum yang lain, dan perkenalan akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya.
Dalam pernikahan dikenal juga dengan istilah poligami, poliandri, dan monogami. Poligami ialah seseorang suami yang memiliki istri lebih dari satu, dalam Islam poiligami di perbolehkan dengan syarat mampu menegakkan keadilan dalam rumah tangganya.
Sebagian dari masyarakat kita kurang atau tidak setuju dengan poligami dan mereka menentang praktik poligami yang ada sekarang ini, karena efek negatifnya sangat besar bagi keluarga dan banyak menyakiti kaum perempuan. Namun, sebagian yang lain menyetujui poligami dengan alasan-alasan tertentu. Kelompok terakhir ini beralasan bahwa meskipun poligami memiliki banyak resiko, tetapi bukanlah sesuatu yang dilarang oleh agama, khususnya Islam.
Di dalam Al-Quran sudah di sebutkan batasan jumlah istri yang boleh di nikahi yaitu : dua, tiga atau empat ada juga yang berpendapat 2+3+4 sampai dengan sembilan istri.
Terlepas dari pendapat pro dan kontra tentang poligami, yang jelas masalah poligami menjadi masalah yang menarik untuk didiskusikan. Praktik poligami semakin lama semakin banyak di tengah-tengah masyarakat kita. Dalam praktiknya, masih banyak di antara kaum poligam belum memenuhi ketentuan yang ada, baik secara hukum Negara maupun hukum agama. Dalam makalah ini kami mencoba membahas mengenai tafsir Surah An-Nisa ayat 3-4  yang membahas masalah poligami. Semoga makalah sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita semua.







PEMBAHASAN
 Surah An-nisa ayat 3:
وَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تُقۡسِطُواْ فِي ٱلۡيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُواْ فَوَٰحِدَةً أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُواْ
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

Asbabun Nuzul
Imam Bukhari, Imam Muslim, Nasa’i, Baihaqi dan yang lainnya meriwayatkan dari Urwah Bin Zubair bahwa ia bertanya kepada khaalahnya ( bibi dari ibu ) yaitu Sayyidah Aisyah r.a tentang ayat ini, lalu Sayyidah Aisyah r.a berkata, “wahai putra saudara perempuanku, ada seorang anak yatim perempuan yang berada di bawah asuhan walinya, si wali tersebut ikut menikmati harta si anak yatim tersebut. Lalu si wali ternyata tertarik kepada harta dan kecantikan nya, lau ia ingin menikahinya tanpa mau bersikap adil di dalam memberikan mahar kepadanya dengan cara tidak memberinya maskawin atau mahar seperti yang biasa diberikan kepada para wanita sepertinya. Lalu sikap seperti ini di larang bagi mereka dan mereka diperintahkan untuk menikahi wanita-wanita lainnya yang mereka senangi, dua, tiga, atau empat.

Sa’id Bin Jabair, Qatadah, Ar-Rabi’, Adh-Dhahhak Dan As-Suddi berkata mereka bersikap hati-hati dan menjauhi harta anak yatim dan bersikap lebih bebas dan mempermudah di dalam masalah wanita, mereka menikahi wanita-wanita yang mereka inginkan, namun terkadang mereka bersikap adil dan terkadang tidak. Lalu ketika mereka bertanya tentang masalah anak-anak yatim, maka turunlah ayat anak-anak yatim, yaitu ayat dua surah an-Nisa. Allah SWT juga menurunkan ayat tiga surah an-Nisa ini, seolah-olah Allah SWT berfirman kepada mereka, sebagaimana kalian takut tidak bisa berlaku adil terhadap hak-hak anak yatim, maka begitu juga kalian harus takut tidak bisa berlaku adil terhadap hak-hak wanita. Oleh karena itu, janganlah kalian menikahi wanita lebih dari jumlah yang kalian bisa memenuhi hak-haknya. Karena wanita memiliki kesamaan dengan anak yatim, yaitu sebagai makhluk yang lemah. Ini adalah pendapat ibnu abbas r.a di dalam riwayat al-walibi (ali bin rabi’ah bin nadhlah), salah satu perawi terpercaya dari ath-thabqah ats-tsaalitsah.[[1]]

Munasabah ayat
Ayat 3 al-Nisa’ ini masih ada kaitannya dengan ayat sebelumnya yaitu ayat 2 al-Nisa’. Ayat 2 mengingatkan kepada para wali yang mengelola harta anak yatim, bahwa mereka berdosa besar jika sampai memakan atau menukar harta anak yatim yang baik dengan yang jelek dengan jalan yang tidak sah; sedangkan ayat 3 mengingatkan kepada para wali anak wanita yatim yang mau mengawini anak yatim tersebut, agar si wali itu beritikad baik dan adil memberikan mahar dan hak-hak lainnya kepada anak yatim wanita yang dikawininya. Ia tidak boleh mengawininya dengan maksud untuk mengambil harta anak yatim tersebut.
Tafsir ayat
 Imam Ath-Thabari memahami ayat di atas dalam konteks perlakuan terhadap anak-anak yatim yang ada dalam asuhan walinya, dan juga perempuan-perempuan lain yang menjadi istri mereka. Dia menafsirkan ayat tersebut dengan kewajiban berlaku adil terhadap anak yatim dan kewajiban berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yang dikawini. Lebih lanjut menurut Ath-Thabari, apabila seorang laki-laki tidak dapat berbuat adil terhadap anak yatim yang akan dikawininya, maka hendaklah ia mengawini perempuan-perempuan lain yang ia sukai, dua, tiga, maupun empat. Namun “jika khawatir” tidak dapat berlaku adil terhadap mereka, maka nikahilah satu orang istri saja. Jika masih juga khawatir tidak bisa berlaku adil walaupun terhadap satu istri, maka janganlah engkau menikahinya. Akan tetapi, nikahilah budak-budak yang kamu miliki, karena mereka itu adalah milikmu dan merupakan hartamu (para budak tidak menuntut hak sebagaimana hak perempuan-perempuan merdeka). Yang demikian itu lebih dekat pada keselamatan dari dosa, aniaya, dan penyelewengan terhadap perempuan.[[2]]
Dari penafsiran Imam ath-Thabari diatas, sangat jelas beliau menekankan untuk berlaku adil bagi kaum lelaki baik terhadap hak-hak anak yatim maupun terhadap hak-hak perempuan yang dia kawini. Jadi, bukan berarti ayat ini menunjukkan kebolehan berpoligami sampai empat orang istri dengan tanpa syarat yang ketat, sehingga syarat tersebut tidak mungkin (untuk tidak mengatakan mustahil) bisa dipenuhi oleh setiap laki-laki.
Perintah pada ayat, فانكحوا adalah perintah yang bersifat ibaahah (memperbolehkan), seperti perintah pada ayat, وكلوا واشربوا (al-Baqarah :187) dan bentuk-bentuk perintah yang sejenis lainnya. Ada pendapat yang mengatakan bahwa perintah tersebut adalah bersifat wujuub (wajib), namun yang dimaksud wajib disini bukanlah wajib nikahnya, akan tetapi wajib terbatas pada jumlah seperti yang dijelaskan di ayat tersebut, yaitu dua, tiga atau empat. Atau dengan kata lain , jika berpoligami, maka wajib hanya terbatas pada jumlah tersebut, tidak boleh melebihi.[[3]]
Quraish Shihab menyatakan bahwa surat An-Nisa’ ayat 3 tidaklah mewajibkan poligami ataupun menganjurkannya. Ayat tersebut hanya berbicara tentang bolehnya poligami. Itu pun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang amat membutuhkannya dan dengan syarat yang tidak ringan. Dengan begitu, bahasan tentang poligami dalam Al-Qur’an hendaknya tidak ditinjau dari segi ideal atau baik buruknya, namun harus dilihat dari sudut pandang penetapan hukum dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi.[[4]]
Hal senada juga diungkapkan al Maraghi, bahwa poligami hanya diperbolehkan dalam kondisi darurat yang dilakukan oleh orang-orang yang benar membutuhkan. Alasan yang membolehkan poligami menurut al Maraghi adalah (1) istri mandul sementara keduanya atau salah satunya sangat mengharapkan keturunan, (2) suami hiperseks sementara istri tidak mampu melayani, (3) suami memiliki harta yang banyak untuk memenuhi seluruh kebutuhan keluarga, dan (4) jumlah perempuan melebihi laki-laki atau banyaknya janda dan anak yatim karena perang[[5]]
Ayat, مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ  bilangan-bilangan ini menunjukkan arti takriir atau berulang, maksudnya matsnaa artinya adalah istnain istnain (dua-dua),tsulaats artinya tsalaatsah tsalaatsah (tiga-tiga) dan rubaa’ artinya arba’ah arba’ah. Maksudnya adalah, diperbolehkan yang ingin berpoligami untuk menikahi wanita sejumlah tersebut.
Kemudian Allah SWT menguatkan keharusan bersikap adil diantara para istri apabila seorang berpoligami. Hal ini dipahani dari ayat وان خفتم الا تقسطوا dan Allah SWT menjelaskan, apabila kalian takut tidak bisa bersikap adil ketika berpoligami, maka kalian harus menikahi satu wanita saja. Karena yang diperbolehkan berpoigami adalah orang yang yakin dirinya bisa merealisasikan kewajiban bersikap adil yang diperintahkan secara jelas di dalam ayat.
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(an-Nisa’ : 129).
Namun yang di maksud tidak akan dapat berbuat adil oleh ayat 129 ini adalah adil dalam kecenderungan hati. Karena jika tidak, maka kesimpulan dua ayat ini ayat tiga dan 129 di lihat dari satu sisi adalah berarti larangan berpoligami.
Ath-Thabari, Ar-Razi, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha memahami ayat 3 surat An-Nisa’ yang acap kali dijadikan dasar kebolehan berpoligami itu dalam konteks perlakuan terhadap anak-anak yatim dan perempuan-perempuan yang dinikahi. Yang menjadi pertimbangan utama ayat tersebut adalah berbuat adil terhadap hak-hak dan kepentingan-kepentingan anak yatim dan perempuan yang dinikahi.
Menurut Quraish Shihab penyebutan dua, tiga, atau empat, pada hakikatnya adalah dalam rangka tuntutan berlaku adil kepada anak yatim. Redaksi ayat ini mirip dengan ucapan seorang yang melarang orang lain makan makanan tertentu, dan untuk menguatkan larangan itu dikatakannya “Jika anda khawatir akan sakit bila makan makanan ini, maka habiskan saja makanan selainnya yang ada di hadapan anda”. Tentu saja perintah menghabiskan larangan makanan lain itu hanya sekedar menekankan perlunya mengindahkan larangan untuk tidak makan makanan tertentu itu. Poligami adalah salah satu solusi yang diberikan kepada mereka yang membutuhkan dan memenuhi syarat-syaratnya. Poligami mirip dengan pintu darurat dalam pesawat terbang yang hanya boleh dibuka dalam keadaan emergency.
Menurut Sya’rawi, “Hukum asal dari poligami pada tahap awal adalah ibahah (boleh) bukan wajib, dalam arti Islam tidak mewajibkan laki-laki untuk melakukan poligami. Mengawini perempuan walaupun berjumlah satu orang hukumnya tetap mubah. Selama mubah, maka pelaksanaannya tergantung keinginan manusia yang melaksanakannya.
Apabila kamu mengambil suatu hukum , maka ambillah berikut syaratnya jangan mengambil bolehnya poligami dan meninggalkan syaratnya yaitu berlaku adil, karena ini akan menimbulkan kerusakan.
Manhaj Ilahi harus diambil secara utuh dalam satu kesatuan. Kenapa perempuan membenci poligami? Karena dia menemukan suami yang menikahi istri kedua melantarkan istri pertama. Hal ini mencamarkan nama abik hukum Islam, karena tidak dilakukan dalam satu kesatuan. Kalaulah suami bertindak adil dalam menggauli, member nafkah, tempat dan giliran bagi para istrinya, maka hal ini menjadi percontohan bagi keadilan yang didinginkan Islam.
Dalam pengertian lain, keadilan yang di inginkan ialah pemeratan bagi semua istri dalam memperoleh hak: tempat tinggal, waktu, dan giliran. Hal inin mampu dilakukan oleh semua suami.
Aisyah menkisahkan bahwa Rasulullah membagikan segala sesuatu kepada seluruh istrinya dengan bagian sama rata, lalu beliau bersabda: “Ya Allah inilah yang bisa saya bagi dari apa-apa yang kumiliki, maka jangan mencaciku terhadap apa-apa yang Kamu miliki dan tidak dan tidak saya miliki (hati).” (HR Imam Ahmad, Abu DAud dan ad-Darimi).
Poligami mempunyai nilai positif. Seandainya sudah kurang interes terhadap isterinya, apa yang harus dia lakukan? Apakah ia harus menceraikannya dan mencari perempuan lain, atau dia memaduhnya dengan isteri baru? Di antara Negara muslim ada yang membolehkan diterapkannya poligami, bukan karena islam yang mencetuskannya, tapi karena keadaan masyarakat mewajibkan hal itu diberlakukan guna memecahkan problematika kehidupan mereka, guna mencegah perselingkuahan. Teman selingkuh ini telah merusak tatanan kehidupan masyarakat dan menyebabkan bayi lahir tanpa ayah.
Istri kedua merupakan satu solusi untuk mewujudkan suasana bersih di tengah masyarakat. Perkawinan suami itu dangan istri kedua itu diketahui oleh semua orang , dan selanjutnya suami akan bertanggung jawab atas kelangsungan hidup istri berikut anak-anaknya.



KESIMPULAN
Sesungguhnya poligami dalam islam adalah sesuatu yang berpangkal dari keadaan yang mendesak atau didorong oleh demi maslahah ‘aammah (kebaikan universal), atau demi kebaikan individu. Dan memperbaiki kerusakan itu lebih baik daripada membiarkan kerusakan. Dan seseorang dilarang untuk mencoba membiarkan kerusakan berkelanjutan. Karena dalil Nash telah secara jelas memperbolehkan  poligami, tidak mengamalkan dalil Nash atau keluar dari ketentuan dalil Nash adalah kemungkaran yang haram dalam syari’at Allah dan agama-Nya.
Prinsip dasar Islam tentang pernikahan adalah monogami, meskipun membolehkan poligami yang tidak dapat menimbulkan malapetaka baik untuk yang berpoligami maupun terhadap perempuan dengan sejumlah syarat yang ketat. Poligami dalam ayat tersebut terbatas sebagai irsyad (petunjuk) bukan al-i’lam (anjuran). Sebagaimana al-Qur’an tidak memutlakannya, tapi membatasainya menjadi empat dengan syarat adil yang membedakannya dengan syarat lain tanpa pembatasan. Apabila syarat ini tidak dipenuhi, kebolehan tersebut menjadi hilang. Karena persyaratan yang ketat inilah mendorong kalangan modernis untuk merekomendasikan perkawinan ideal menurut al-Qur’an adalah monogamy.
Pada prinsipnya ayat ini membolehkan poligami sebagai suatu hukum agama yang dapat saja berbentuk haram, sunnah, mubah, makruh, dan halal sesuai dengan akibat yang ditimbulkannya baik berupa kemaslahatan maupun kemudharatan. Apabila poligami telah memunculkan persoalan yang merusak tatanan masyarakat, penguasa dapat menjadikan poligami sebagai hal yang haram.







DAFTAR PUSTAKA
Az-Zuhaili, Wahbah. 2013. Tafsir Al-Munir, Jilid II. Jakarta : Gema Insani.
Ath-Thabari. 2000. Jami’ al-Bayan Fi Ta’wili Al-Qur’an. Muassasah Al-Risalah, Cetakan pertama.

Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati.

Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. 1993. Tafsir Al-Maraghi, Juz IV. Semarang: PT. Karya Toha Putra.



[1] Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, Jilid II ( Jakarta : Gema Insani, 2013 ), Hml. 571-572
[2] Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan Fi Ta’wili Al-Qur’an, (Muassasah Al-Risalah, Cetakan pertama, 2000), V, hlm. 532
[3] Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir, Hlm. 573.
[4] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati), 2002, hlm. 324.
[5] Ahmad Mustafa Al-Maraghi,. 1993. Tafsir Al-Maraghi, Juz IV. Semarang: PT. Karya Toha Putra. Hlm 181-182

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Studi Naskah Tafsir_As-Sya`rawi_ An Nisa` 1-3_Poligami

Tafsir As-Sya`rawi An-Nisa 1-3 (Poligami) Disusun Oleh : Muhammad Fadhlan Syaifudin , Muhammad Muthiurridlo , Ikrom Najibuddin Fakultas...