Makalah Tafsir Tahliliy Surah At-Taubah
Ayat: 1-6
Dosen Pengampu:
Abdurrouf, MA
Disusun oleh:
Muhammad
Fadhlan Syaifudin
NIM: 151410507
Fakultas
Ushuluddin
Institut PTIQ
Jakarta
2017
PEMBAHASAN
بَرَاءَةٌ
مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (١)
Surah At Taubah adalah surah Madaniyah dan jumlah
ayatnya menurut para qari (qurra) Kufah terdiri dari 129 ayat dan menurut
pembaca lainnya terdapat 139 ayat. Pendapat pertama adalah yang masyhur
dan digunakan oleh kebanyakan umat Muslim. Jumlah kata dalam surah Al-Taubah
ini adalah 2506 dan jumlah hurufnya adalah 11116 huruf. Berdasarkan urutan
penyusunan surah Al-Taubah ada pada surah ke-9. Dari sisi isi
dan panjangnya, surah Al-Taubah merupakan surah terakhir dari tujuh surah yang
panjang dalam Al-Quran (Thuwal) dan salah satu surah yang relatif besar dalam
al-Quran. Kurang lebih satu juz Al-Quran adalah porsi untuk surah Al-Taubah
ini.
Surat ini memiliki nama lain yaitu surat
Bara`ah yang berarti berlepas diri, diambil dari
kata bari`a yang berarti “menjauh dari sesuatu dan memutuskan hubungan dengan orang-orang musyrikin”.
Bara`ah
di sini maksudnya adalah pernyataan pemutusan perhubungan, disebabkan
kebanyakan isi pokok pembicaraannya merupakan bentuk pemutusan hubungan
(perjanjian damai) dengan musuh-musuh Islam saat itu.
Selain Bara`ah surah
Al-Taubah ini juga memiliki beberapa nama lain, yaitu;
~ Al-Fadhihah (penyingkap dan pembongkar rahasia).
~ Mukhziyah (yang merendahkan dan menghinakan).
~ Al-Saif (pedang sebagai simbol pedang).
~ Al-Muqasyqisyah (yang
menyembuhkan atau membersihkan dari kemusyrikan dan kemunafikan).
~ Surah al-`adzab (karena ayat-ayatnya
berbicara tentang siksa terhadap orang-orang kafir).
~ Al-Munaqqirah (yang melubangi, yakni
melubangi hati orang-orang munafik sehingga penipuan yang terpendam di hati mereka
serta niat busuk mereka terbongkar dan muncul ke permukaan).
Surat ini diturunkan sesudah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam kembali dari peperangan Tabuk yang terjadi pada tahun 9 H.
Pada penulisan surat At-Taubah dalam mushaf Al-Qur’an, lafadz
basmalah tidak
dicantumkan dipermulaan surat tersebut. Hal tersebut berbeda dengan surat-surat
yang lainnya yang mencantumkan basmalah di permulaan ayat. Ada beberapa
penjelasan dari para ulama mengapa basmalah tersebut tidak dicantumkan di
permulaan surat At-Taubah.
1. Pendapat Pertama
Al-Mubarrid berpendapat bahwa merupakan kebiasaan orang Arab
apabila mengadakan suatu perjanjian dengan suatu kaum kemudian bermaksud
membatalkan perjanjian tersebut, maka mereka menulis surat dengan tidak
mencantumkan basmalah di dalamnya. Maka ketika turun surat baro’ah (At-taubah)
yang memutuskan perjanjian antara Nabi SAW dengan orang-orang musyrik, beliau
mengutus Ali bin Abi Thalib ra. kemudian membacakan surat tersebut tanpa
mengucapkan Basmalah di permulaannya. Hal ini sebagaimana kebiasan yang berlaku
di bangsa Arab.
2. Pendapat Kedua
Riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Mardawaih dari Ibnu Abbas ra.
bahwa ia pernah bertanya kepada Ali bin Abi Thalib tentang sebab basmalah tidak
ditulis di permulaan surat Baro’ah. Ali bin Abi Thalib ra. menjawab, “Basmalah
adalah aman (mengandung rasa aman) sedangkan Baro’ah turun dengan pedang
(berkaitan dengan peperangan).”
3. Pendapat Ketiga
Riwayat Ibnu Abi Syaibah, Ahmad, Abu Daud, at-Tirmidzi dan
an-Nasa’i dari Ibnu Abbas ra, bahwa beliau ra. pernah bertanya kepada Utsman
bin al-Affan ra, “Apa yang menjadi alasan Anda mencantumkan surat At-Taubah
setelah surat Al-Anfal, tanpa mencantumkan basmalah di antara keduanya?” Beliau
menjawab bahwa Rasulullah SAW apabila turun suatu ayat, maka beliau akan
memanggil para penulis wahyu dan berkata, “Cantumkan ayat-ayat ini di surat
yang disebutkan di dalamnya anu dan anu. Surat Al-Anfal merupakan surat-surat
yang pertama diturunkan di Madinah, sedangkan Baro’ah merupakan surat yang
terakhir turun. Dan ternyata kisah yang terkandung di dalam kedua surat
tersebut saling menyerupai, sehingga aku mengira bahwa surat Bara’ah termasuk
surat Al-Anfal.
Kemudian Rasulullah SAW wafat sebelum sempat menjelaskan hal
tersebut. Oleh karena itu aku menggandengkan kedua surat tersebut dan tidak
mencantumkan basmalah di antara keduanya dan menempatkannya dalam As-Sab’u
Ath-Thiwal. (Tafsir Fathul-Qadir karya Imam Ali As-Syaukani II/415-416).
Pendapat lain mengatakan:
Ketika Al quran sudah hampir selesai dibukukan (dimushafkan)
terjadi perselisihan antara semua para Shahabat apakah Al Anfal (sebelum At
taubah) dan At taubah itu tergabung dalam satu surah atau terpisah. Kalau benar
satu surah, maka bacaan basmalah yang sebagai Fashil (pemisah) antara surah-surah
Al Qur’an cuma dibaca di awal surah Al Anfal. Kalau benar dua surah yang
terpisah, maka pada awal surah Al Anfal dibaca ada Basmalah dan juga pada awal
surah At Taubah juga dibaca Basmalah.
Kedua pendapat ini sama-sama kuat, maka setelah semua Shahabat
bermusyawarah, maka diambil keputusan bahwa Al Anfal dan AtTaubah adalah 2
surah yang terpisah, tetapi pada awal surah At Taubah tidak dibaca Basmalah.
Para Ulama masih berselisih mengenai hal ihwal larangan tersebut.
Syeikh Al-Ramli mengatakan makruh membaca Basmalah di awal surah al-Taubah dan
sunat di pertengahannya. Imam Ibnu Hajar, Syeikh al-Khatib dan Imam al-Syatibi
mengatakan haram membaca Basmalah di permulaan surah aT-Taubah dan makruh di
pertengahan.
Itulah beberapa pendapat mengenai alasan tidak dicantumkannya
basmalah di permulaan surat At-Taubah. Oleh karena itu jika kita membaca surat
tersebut dari permulaannya, maka kita hanya disunahkan mengucapkan ta’awudz
saja tanpa basmalah. Demikian halnya jika kita membaca dari pertengahannya. Kita
juga cukup membaca ta’awudz saja.
فَإِذَا قَرَأْتَ
الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Apabila kamu membaca al-Qur’an
hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. (QS An-Nahl: 98)
Untuk menggantikan bacaan basmalah pada awal surat ini, biasanya
beberapa mushaf menyertakan bacaan ta’awudz yang khusus untuk mengawali surat
ini. Bacaan Ta’awudz tersebut adalah sebagai berikut :
أعوذ بالله من النار
ومن شرالكفار ومن غضب الجبار. العزة لله ولرسوله وللمؤمنين
Setelah penaklukan kota Mekah atau yang
diistilahkan dengan "Fathu Makkah" pada tahun ke 8 Hijrah, Nabi Saw
memberikan pengampunan secara umum kepada penduduk Mekah, sehingga orang-orang
Kafir tetap boleh tinggal di Mekah dan melaksanakan upacara peribadatan mereka.
Di antara bentuk ibadah yang biasa dilakukan orang-orang Kafir
Mekah adalah melakukan tawaf mengelilingi Ka'bah dengan tanpa baju alias
telanjang. Tentu saja, sikap dan perilaku orang-orang kafir tersebut
sama sekali tidak bisa ditolerir oleh kaum Muslimin.
Oleh karena itu, Nabi dan kaum Muslimin menunggu firman dan
perintah Allah Swt hingga akhirnya diturunkan ayat-ayat pertama surat bara'ah ini
di Madinah. Nabi Saw kemudian memerintahkan Imam Ali bin Abi Thalib ra. membacakan
pesan Allah ini kepada masyarakat. Berdasarkan ayat-ayat ini, orang-orang
Musyrik tidak berhak lagi memasuki kawasan Baitullah dan tidak dibolehkan
mengikuti ibadah Haji. Selain itu, segala bentuk perjanjian yang pernah dijalin
antara kaum Kafir dan kaum Muslimin dibatalkan.
Di akhir-akhir ayat surat al-Anfal disebutkah bahwa Islam sangat
berpesan agar kaum Muslimin selalu komitmen terhadap perjanjian, sekalipun
dengan orang kafir. Akan tetapi peraturan ini hanya berlaku selama pihak lain
juga komitmen dan setia terhadap perjanjian, serta tidak melakukan pelanggaran
terhadap batas-batas yang telah ditetapkan. Pembatalan perjanjian yang
dilakukan oleh Nabi Saw atas perintah Allah ini disebabkan karena orang-orang
Kafir selalu melakukan pelanggaran terhadap perjanjian tersebut. Namun, ada
juga sekelompok orang kafir yang tidak melanggar perjanjian, dan mereka ini
mendapat pengecualian. Mereka ini akan dibahas secara terpisah pada ayat ke- 4
surat at-Taubah.
Dari ayat ini terdapat dua pelajaran yang dapat kita ambil:
1. Pernyataan bara'ah atau pemutusan hubungan dan
berlepas tangan atas perbuatan orang-orang kafir yang menyimpang adalah sebuah
prinsip agama. Dengan kata lain, kaum Mukmin harus bersikap tegas dan jelas
serta menentukan posisinya yang jelas di hadapan kaum Kafir.
2. Menjalin perjanjian dengan orang-orang kafir memang tidak
dilarang, akan tetapi perjanjian tersebut jangan sampai menyebabkan kaum
Muslimin ditekan. Selain itu, jika kaum Muslimin merasakan adanya bahaya,
mereka berhak membatalkan perjanjian tersebut.
فَسِيحُوا
فِي الأرْضِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ غَيْرُ مُعْجِزِي اللَّهِ
وَأَنَّ اللَّهَ مُخْزِي الْكَافِرِينَ (٢)
Setelah pernyataan bara'ah dan pembatalan
perjanjian yang sebelumnya telah dijalin, Allah Swt memberi kesempatan kepada
kaum Kafir Mekah selama 4 bulan, agar mereka memperjelas sikap dan posisinya,
yaitu memeluk Islam atau tetap musyrik. Bila mereka memilih untuk tetap menjadi
kafir, mereka harus keluar dari Mekah dan tinggal di kawasan lain. Hal ini
disebabkan karena kehadiran kaum kafir di markas tauhid dan perilaku mereka
dalam bertawaf yang dicampuri oleh perbuatan-perbuatan khurafat akan mengganggu
kaum Muslimin.
Adapun mulai
berlakunya masa empat bulan itu, menurut pendapat yang masyhur ialah dari
tanggal 10 Zulhijah tahun ke 9 Hijrah sampai dengan tanggal 10 Rabiul Akhir ke
10 Hijrah. Sesuai dengan yang diriwayatkan oleh Abu Masyar Al-Madany dari
Muhammad bin Ka'ab Al-Qurazi dan lain-lain yang maksudnya: "Rasulullah
saw. mengutus Abu Bakar sebagai Amir haji tahun ke 9 Hijrah dan mengutus pula
Ali bin Abu Talib dengan membawa 30 atau 40 ayat Bara'ah untuk dibacakan kepada
manusia di Mina.
Meskipun kaum kafir
sudah keluar dari Mekah, bukan berarti mereka bebas dari pengawasan Allah dan
bebas melakukan kezaliman. Di manapun mereka berada, Allah akan selalu
mengawasi dan akan mendatangkan balasan dan siksa kepada mereka, baik di dunia
maupun di akhirat.
Dari ayat tadi
terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Kita jangan melakukan penyerangan kepada musuh tanpa pengumuman
terlebih dahulu, tetapi kita harus terlebih dahulu menyatakan sikap kita, lalu
memberi kesempatan kepada mereka agar memperjelas sikap mereka.
2. Islam selalu memberikan kesempatan untuk kembali bagi
orang-orang yang sesat. Kita harus memprioritaskan pembenahan masyarakat dan
tidak terburu-buru memberi ancaman siksa.
وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ
وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الأكْبَرِ أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ
الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ فَإِنْ تُبْتُمْ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ
فَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ غَيْرُ مُعْجِزِي اللَّهِ وَبَشِّرِ الَّذِينَ كَفَرُوا
بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (٣)
Pada ayat ini Allah menerangkan pula suatu permakluman pada hari
Haji Akbar yang isinya ialah menyatakan bahwa Allah dan Rasul-Nya membebaskan
diri dari kaum musyrikin dan memutuskan hubungan dan perjanjian-perjanjian dengan
mereka serta membersihkan agama mereka dari semua khurafat dan kesesatan. Allah
dan Rasul-Nya menyatakan putus hubungan dan berlepas tangan dari perbuatan
orang-orang Kafir."
Banyak hadis-hadis sahih yang diriwayatkan bertalian dengan
permakluman ini antara lain bahwa Abu Hurairah berkata: Saya (Abu Hurairah)
diutus oleh Abu Bakar pada hari raya haji bersama dengan orang-orang yang
ditugaskan untuk memaklumkan di Mina bahwa orang musyrik tidak diperbolehkan
naik haji sesudah tahun ini dan tidak dibolehkan tawaf di Baitullah dengan
telanjang. Kemudian Rasulullah saw. menyusuli dengan mengutus Ali bin Abu Thalib
dan memerintahkannya untuk memaklumkan (membaca ayat) Bara'ah dan orang musyrik
tidak dibolehkan haji lagi sesudah tahun itu dan tidak dibolehkan tawaf di
Baitullah dengan telanjang (sebagaimana kebiasaan kaum musyrikin). (H.R.
Bukhari dan Muslim)
Meski demikian, bagi mereka tetap terbuka jalan untuk bertaubat dan
meninggalkan kekafiran, lalu memeluk Islam. Ayat ini menegaskan bahwa taubat
adalah pilihan terbaik bagi orang-orang kafir itu, karena bila mereka tetap
ingkar, ke manapun mereka pergi, Allah Swt akan mengawasi mereka. Mereka tidak
akan mampu melarikan diri dari kekuasaan-Nya dan tidak bisa melepaskan diri
dari adzab dan siksa yang menyakitkan di akhirat.
Para ulama banyak mengemukakan pendapat tentang apa yang dimaksud
dengan haji akbar, antara lain sebagai berikut:
a. Menurut Abdullah bin Haris, Ibnu Sirin dan Syafii bahwa yang dimaksud dengan haji akbar ialah hari Arafah, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi,Nasai,IbnuMajah.
b. Menurut Ibnu Qayyim dan lain-lainnya bahwa yang dimaksud dengan hari haji akbar ialah hari Nahar (10 Zulhijah) berdasarkan hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim.
c. Al-Qadi (Iyad) mengatakan: Apabila kita meneliti pendapat-pendapat itu, maka pendapat yang tersaring (terpilih) bahwa haji akbar itu ialah hari-hari mengerjakan manasik haji sebagaimana yang dikatakan oleh Mujahid. Tetapi apabila kita membahas tentang hari raya Haji Akbar, maka tidak diragukan lagi ialah wukuf di Arafah karena haji adalah Arafah. Barangsiapa yang dapat wukuf di Arafah, maka ia haji, dan barangsiapa yang tidak wukuf di Arafah, maka ia tidak memperoleh haji. Maka yang dimaksud dengan haji akbar dalam surat ini dan diucapkan Nabi saw. dalam khutbahnya ialah hari Nahar.
Adapun sebab dinamakan haji akbar yang berarti Haji Besar, maka sebagian ulama mengatakan ialah untuk membedakannya dengan umrah yang disebut haji kecil. Dan ada yang mengatakan karena amal-amal yang dikerjakan pada masa Haji itu lebih besar pahalanya jika dibandingkan dengan amal-amal yang dikerjakan pada masa-masa yang lain. Ada pula yang mengatakan, karena pada waktu itulah tampak kemuliaan yang lebih besar bagi kaum Muslimin dan kehinaan bagi orang-orang musyrikin. Masih banyak lagi pendapat lain.
Menurut ayat ini kelanjutan dari permakluman itu ialah jika kaum
musyrikin itu bertobat menyesali kesesatan mereka dari berbuat syirik,
melanggar janji dan sebagainya, dan kembali kepada jalan yang benar, yaitu
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan menghilangkan permusuhan dengan kaum
Muslimin, itulah yang paling baik bagi mereka untuk kebahagiaan dunia dan
akhirat, tetapi jika mereka berpaling, tidak mau menerima kebenaran dan
petunjuk tetapi tetap membangkang maka mereka tidak akan dapat melemahkan
kekuasaan Allah dan tidak akan dapat menghilangkan pertolongan yang dijanjikan
Allah kepada Rasulullah saw. dan kepada orang-orang mukmin, yaitu kemenangan
mereka dalam mengalahkan orang-orang musyrik dan munafik. Mereka bukan saja
menderita kekalahan dan kehinaan di dunia bahkan Rasulullah pun diperintahkan
Allah untuk menyampaikan berita bahwa mereka akan mendapat siksa yang sangat
pedih di akhirat.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Dalam menjalin hubungan luar negeri, negara-negara muslim harus
menyatakan sikapnya yang tegas dan jelas kepada masyarakata dunia, sehingga
kedua pihak masing-masing mengetahui hak dan kewajibannya.
2. Ibadah haji merupakan tempat dan waktu yang tepat untuk
menyatakan sikap bara'ah kepada orang-orang kafir dan musyrik.
Karena itu orang-orang Mukmin harus memanfaatkan kesempatan besar ini setiap
tahun, guna menggalang solidaritas dan persatuan kaum Muslimin untuk menghadapi
musuh-musuh umat Islam.
إِلا الَّذِينَ
عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ ثُمَّ لَمْ يَنْقُصُوكُمْ شَيْئًا وَلَمْ
يُظَاهِرُوا عَلَيْكُمْ أَحَدًا فَأَتِمُّوا إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلَى
مُدَّتِهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ (٤)
Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa waktu yang diberikan kaum
Muslimin kepada kaum musyrikin untuk menentukan sikap, tidak boleh lebih empat
bulan, terkecuali terhadap mereka yang ada perjanjian dengan kaum Muslimin, dan
terhadap mereka yang tidak mengurangi sesuatu pun dari syarat-syarat perjanjian
itu tidak membantu orang-orang yang memusuhi kaum Muslimin, maka perjanjian itu
harus dipelihara dan disempurnakan sesuai dengan isinya sampai kepada batas
waktunya. Ibnu Abu Hatim meriwayatkan bahwa Nabi menyempurnakan janjinya dengan
suku Bani Damrah dan Bani Kinanah.
Ayat-ayat ini dan ayat-ayat yang lainnya menunjukkan bahwa setiap perjanjian yang masih berlaku, wajib dipenuhi dan disempurnakan sesuai dengan syarat-syarat perjanjian itu walaupun perjanjian itu dengan kaum musyrikin selama mereka memenuhi semua syaratperjanjianitu.
Akhir ayat ini menerangkan bahwa Allah swt. menyukai orang-orang yang bertakwa. Hal ini menunjukkan bahwa memelihara dan menyempurnakan janji itu termasuk takwa. Karena memelihara perjanjian artinya memelihara pertanggungjawaban terhadap keadilan antara manusia yang membawa kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.
Ayat-ayat ini dan ayat-ayat yang lainnya menunjukkan bahwa setiap perjanjian yang masih berlaku, wajib dipenuhi dan disempurnakan sesuai dengan syarat-syarat perjanjian itu walaupun perjanjian itu dengan kaum musyrikin selama mereka memenuhi semua syaratperjanjianitu.
Akhir ayat ini menerangkan bahwa Allah swt. menyukai orang-orang yang bertakwa. Hal ini menunjukkan bahwa memelihara dan menyempurnakan janji itu termasuk takwa. Karena memelihara perjanjian artinya memelihara pertanggungjawaban terhadap keadilan antara manusia yang membawa kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.
فَإِذَا انْسَلَخَ
الأشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ
وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا
الصَّلاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ
رَحِيمٌ (٥)
Pada ayat ini Allah menerangkan apabila telah selesai bulan-bulan
yang diharamkan memerangi kaum musyrikin yaitu selama empat bulan terhitung
mulai tanggal 10 Zulhijah sampai dengan tanggal 10 Rabiul Akhir tahun 9 Hijrah,
maka Allah memerintahkan kepada kaum muslimin untuk mengerjakan salah satu dari
empat hal yang lebih bermanfaat bagi mereka, yaitu:
1. Memerangi
mereka di mana saja mereka berada, baik di tanah haram maupun di luarnya.
2. Menawan
mereka.
3. Mengepung
dan memenjarakan mereka.
4. Mengintai
gerak-gerik mereka di setiap tempat yang diperlukan.
Selanjutnya pada ayat ini Allah menerangkan bahwa apabila kaum
musyrikin itu bertobat dan kembali ke jalan yang benar dengan beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya, mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan salat dan
menunaikan zakat, maka kepada mereka diharuskan memberikan kebebasan yang luas,
tidak dibunuh atau diperangi, tidak ditawan, tidak dikurung dan tidak diintai
gerak-geriknya lagi.
Tegasnya orang-orang musyrik itu tidak boleh dibunuh, atau
diperangi dengan tiga syarat yaitu:
1. Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan mengucapkan dua
kalimat syahadat.
2. Mendirikan salat lima waktu yang difardukan.
3. Menunaikan wajib zakat apabila telah memenuhi syarat-syaratnya.
Sabda Rasulullah saw.: Aku
diperintahkan membunuh (memerangi) manusia hingga mereka bersyahadat bahwa
tiada Tuhan melainkan Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah,
mendirikan salat dan menunaikan zakat, maka apabila mereka telah berbuat
demikian, niscaya darah dan harta benda mereka terpelihara dari saya, kecuali
dengan hak Islam dan hisab mereka terserah kepada Allah. (H.R. Bukhari dan
Muslim dari Abu Hurairah)
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ
مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَعْلَمُونَ (٦)
Pada ayat ini Allah menerangkan pada Rasul-Nya, jika ada seseorang
dari kaum musyrikin meminta perlindungan kepada Nabi Muhammad saw. untuk
mendengar kalam Allah agar ia dapat mengetahui hakikat dakwah Islamiah yang
disampaikan oleh Nabi, maka Allah memerintahkan Nabi untuk melindunginya dalam
jangka masa yang tertentu. Kalau ia mau beriman, berarti ia akan aman untuk
selanjutnya, dan kalau tidak, maka Nabi hanya diperintahkan untuk
menyelamatkannya sampai kepada tempat yang diinginkannya buat keamanan dirinya,
dan sesudah itu keadaan dalam perang kembali seperti semula.
Para ulama tafsir
berbeda pendapat antara lain, bahwa perlindungan (pengamanan) yang diberikan
itu hanyalah kepada kaum musyrikin yang telah habis masa perjanjian selama ini,
dan mereka tidak pernah melanggarnya. Dan kaum Muslimin diperintahkan
menyempurnakannya sebagaimana telah dijelaskan pada ayat empat. Bahkan
orang-orang musyrikin yang sudah habis tempo empat bulan yang diberikan kepada
mereka untuk menentukan sikap, karena waktunya sudah cukup dan tidak perlu
ditambah lagi. Akan tetapi sebagian ulama berpendapat bahwa kepada mereka yang
ingin beriman masih diberi kesempatan yang lamanya empat bulan, akan tetapi
menurut pendapat yang terkuat diserahkan kepada imam.
Dalam persoalan ini Ibnu
Kasir berpendapat bahwa orang kafir yang datang dari negeri Harb (kafir) ke
negeri Islam untuk menunaikan suatu tugas seperti dagang, minta berdamai, minta
menghentikan pertempuran, membawa jizyah (upeti) dan minta pengamanan kepada
mereka diberikan perlindungan selama dia berada di negeri Islam sampai dia
kembali ke negerinya.
KESIMPULAN DAN
PENUTUP
Ayat 1 – 6 Surah At-Taubah ini menjelaskan beberapa hal penting
terkait kaum musyrikin Mekah:
- Allah
meminta Rasul saw. dan kaum Muslimin untuk memutuskan hubungan damai
dengan kaum musyrikin Mekah. Allah hanya memberi tenggang waktu empat
bulan saja dari perintah ini diturunkan. Setelah itu akan ada perang
besar-besaran dengan mereka.
- Waktu
tenggang empat bulan itu ialah dari tanggal 20 Zulhijah sampai 10 Rabiul
Akhir. Jika dalam masa itu kaum musyrik melakukan pelanggaran perjanjian
atau membantu kaum lain memerangi Rasulullah dan kaum muslimin, maka
perjanjian dengan mereka batal.
- Allah
mengisyaratkan dengan kuat bahwa kaum musyrikin Mekah akan dikalahkan kaum
mukmin dalam waktu dekat.
- Setelah
masa tenggang selesai, Allah memerintahkan Rasulullah saw. beserta kaum
muslimin untuk memerangi, menangkap, mengepung dan menundukkan kaum
musyrikin di mana saja mereka berada. Jika mereka masuk Islam, menegakkan
salat dan menunaikan zakat maka mereka tidak boleh diperangi lagi.
- Kalau ada
di antara kaum musyrikin yang meminta perlindungan maka wajib dilindungi,
bacakan padanya Al-Qur’an, kemudian antarkan ia ke tempat yang aman.
- Perang
terhadap kaum kafir harus ada alasan yang kuat dan dilandasi takwa, kasih
sayang, tidak boleh membabi buta, harus menaati aturan-aturan Allah.
DAFTAR PUSTAKA
DEPAG RI. Al-Qur`an
dan Tafsirnya. 2011 : Widya Cahaya
Fuladmand,
Muhammad Mahdi Al-Quran, Terjemahan Persia, Tehran, Dar al- Qur'an al-Karim. 1418 H
Ja`far
Fathuddin. Mushaf Tadabbur. Al Bayan
Shihab,
Quraish. Tafsir Al-Mishbah. 2002. Jakarta : Lentera Hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar