Muhammad
Fadhlan Syaifudin
NIM: 151410507
Ushuluddin 5B
Ushuluddin 5B
Institut PTIQ Jakarta
Tafsir Tahlili
Surah Ali Imran: 165-179
أَوَلَمَّا
أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ
هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (165) وَمَا أَصَابَكُمْ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ
فَبِإِذْنِ اللَّهِ وَلِيَعْلَمَ الْمُؤْمِنِينَ (166) وَلِيَعْلَمَ الَّذِينَ
نَافَقُوا وَقِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا قَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوِ
ادْفَعُوا قَالُوا لَوْ نَعْلَمُ قِتَالًا لَاتَّبَعْنَاكُمْ هُمْ لِلْكُفْرِ
يَوْمَئِذٍ أَقْرَبُ مِنْهُمْ لِلْإِيمَانِ يَقُولُونَ بِأَفْوَاهِهِمْ مَا لَيْسَ
فِي قُلُوبِهِمْ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يَكْتُمُونَ (167) الَّذِينَ قَالُوا
لِإِخْوَانِهِمْ وَقَعَدُوا لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا قُلْ فَادْرَءُوا عَنْ
أَنْفُسِكُمُ الْمَوْتَ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (168) وَلَا تَحْسَبَنَّ
الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ
رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ (169) فَرِحِينَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
وَيَسْتَبْشِرُونَ بِالَّذِينَ لَمْ يَلْحَقُوا بِهِمْ مِنْ خَلْفِهِمْ أَلَّا
خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (170) يَسْتَبْشِرُونَ بِنِعْمَةٍ مِنَ
اللَّهِ وَفَضْلٍ وَأَنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُؤْمِنِينَ (171)
الَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِلَّهِ وَالرَّسُولِ مِنْ بَعْدِ مَا أَصَابَهُمُ الْقَرْحُ
لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا مِنْهُمْ وَاتَّقَوْا أَجْرٌ عَظِيمٌ (172) الَّذِينَ قَالَ
لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ
إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ (173) فَانْقَلَبُوا بِنِعْمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَفَضْلٍ لَمْ
يَمْسَسْهُمْ سُوءٌ وَاتَّبَعُوا رِضْوَانَ اللَّهِ وَاللَّهُ ذُو فَضْلٍ عَظِيمٍ
(174) إِنَّمَا ذَلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلَا تَخَافُوهُمْ
وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (175) وَلَا يَحْزُنْكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ
فِي الْكُفْرِ إِنَّهُمْ لَنْ يَضُرُّوا اللَّهَ شَيْئًا يُرِيدُ اللَّهُ أَلَّا
يَجْعَلَ لَهُمْ حَظًّا فِي الْآخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ (176) إِنَّ
الَّذِينَ اشْتَرَوُا الْكُفْرَ بِالْإِيمَانِ لَنْ يَضُرُّوا اللَّهَ شَيْئًا
وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (177) وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّمَا
نُمْلِي لَهُمْ خَيْرٌ لِأَنْفُسِهِمْ إِنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ لِيَزْدَادُوا
إِثْمًا وَلَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ (178) مَا كَانَ اللَّهُ لِيَذَرَ
الْمُؤْمِنِينَ عَلَى مَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ حَتَّى يَمِيزَ الْخَبِيثَ مِنَ
الطَّيِّبِ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى الْغَيْبِ وَلَكِنَّ اللَّهَ
يَجْتَبِي مِنْ رُسُلِهِ مَنْ يَشَاءُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَإِنْ
تُؤْمِنُوا وَتَتَّقُوا فَلَكُمْ أَجْرٌ عَظِيمٌ (179)
(165) Di dalam ayat ini, Allah mengingatkan
kepada orang mukmin umumnya dan orang munafik khususnya, tentang salahnya perkataan
mereka saat mengetahui kekalahan pada perang Uhud. Bagaimana
perkataan mereka? Mereka mengatakan dengan nada terheran-heran: Bagaimana mungkin kekalahan ini terjadi?
Bukankah kita bersama Rasulullah? Bukankah kita ada di pihak yang benar? Kenapa
bisa kalah?.
~ أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ
مُصِيبَةٌ. ‘a’ di sini adalah ‘a’ istifhamiyyah inkariyah untuk
memberi kesan keheranan. ‘wa’ adalah waw
athof. Sehingga أوَلَمَّا artinya dan bukankah ketika kalian tertimpa
musibah.
~ مُصِيبَة ,maknanya adalah segala
sesuatu yang menimpa seseorang dan sesuatu tersebut tidak disukai. Bisa mengena
pada jiwa, raga atau harta, baik ringan maupun berat. Dan perlu diketahui, bahwa termasuk
kategori musibah adalah yang menimpa keimanan seseorang. Dan ini sebenarnya
musibah yang terberat. Sebab, akidah adalah penentu selamat
atau tidaknya kita dari adzab Allah. Maka dari itu, marilah kita semua
berlindung kepada Allah dari musibah yang menimpa pada akidah kita. Misalnya,
hidup di lingkungan orang kafir, disiksa dan dipaksa untuk menjadi
kafir. Atau bisa juga dengan cara yang
halus, tidak terasa, namun pelan-pelan iman kita digerogoti dengan berbagai
cara.
Tujuan ayat ini
adalah meluruskan berbagai persepsi atau angggapan salah dari sebagaian orang
mukmin dan mengungkap hakikat keimanan seseorang, serta kebusukan orang-orang
munafik. Karena
ketika umat Islam
menang dalam perang Badar, banyak orang munanfik masuk Islam dengan
tujuan mendapatkan rampasan perang. Namun dalam kekalahan uhud, niatan busuk
mereka terbongkar. Tujuannya
adalah agar umat Islam waspada dengan perilaku busuk
mereka. Bahwa
orang munafik kapanpun dan dimanapun yang dikejar hanyalah keuntungan duniawi.
Belajar dari
ayat 165, seharusnya orang mukmin kapanpun dan dimanapun, harus sadar betul
bahwa musibah yang menimpa, kekalahan yang diderita, kondisi umat yang
terpinggirkan, semua itu adalah karena kesalahan yang di perbuat oleh orang islam sendiri.
Lihatlah orang islam, lebih senang
berteman dengan musuh Allah, senang memakai UU selain syariat Allah, senang
berselisih, saling menyalahkan, tidak mau bersatu, tidak mau belajar. Semua
kondisi semacam ini, tentu tidak menguntungkan kemajuan umat Islam. Jika umat islam
terpuruk, maka itu sudah sewajarnya. Jangan menyalahkan orang lain atau islam
sebagai agama. Karena sejarah mencatat, bahwa islam pernah mengangkat derajat
umatnya di belantara peradaban dunia, dikala mereka tunduk dan bersatu dalam
panji-panji Islam.
(166) Allah menegaskan dalam ayat ini, bahwa
apa yang terjadi saat perang Uhud itu adalah atas izin dari Allah. Salah satu tujuannya adalah untuk
memperlihatkan kepada semua hamba-Nya, mana yang benar-benar beriman tunduk kepada perintah Allah dan Rasul-Nya.
~ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ , iltaqa artinya
bertemu. Al-jam’an artinya dua kelompok besar. Yaumal
taqal jam’an artinya adalah hari pertemuan antara dua kelompok yang
besar, yaitu di hari perang antara orang mukmin dan kafir.
~ وَلِيَعْلَمَ الْمُؤْمِنِينَ (dan supaya Dia –Allah- Tahu mana orang-orang beriman). Maksud dari supaya Allah tahu di sini bukan Allah sebelumnya tidak tahu. Tetapi supaya Allah memperlihatkan dan menunjukkan kepada semua hamba-Nya bahwa inilah orang beriman atau inilah orang munafik atau inilah orang kafir. Allah itu Maha Tahu segala-galanya. “Innallaha ya’lamu ghaibas samaawaati wal ardh”.
Apapun yang menimpa kita,
baik senang maupun susah, semuanya sudah ditetapkan oleh Allah. Maka kembalikan
semuanya hanya pada Allah. Maka hendaknya kita yakin terhadap qadha dan
qadar dari Allah. Tetapi kita juga tidak diperbolehkan untuk menyerah begitu
saja tanpa berusaha semaksimal mungkin. Karena masalah qadha dan qadar adalah
hak pribadi Allah. Dan kita sebagai manusia diperintahkan untuk berusaha
maksimal sesuai tuntunan syariat. Karena bisa saja Allah
mengantungkan terjadinya sesuatu bergantung kepada usaha-usaha kita.
Musibah yang menimpa orang kafir dinamakan adzab
atau siksaan. Bagi kita sebagai orang yang beriman menyakini bahwa musibah yang
menima seorang mukmin pada dasarnya adalah bukan adzab / siksaan. Namun lebih
tepat sebagai ujian untuk meningkatkan kualitas keimanan seseorang. Karena
keimanan seseorang, itu bukan berarti ia bebas dari ujian. Bahkan dalam surat
al-‘Ankabut ayat 2-3 secara gamblang ditegaskan:
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا
وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ (2) وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ
فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ (3)
``Apakah manusia itu mengira bahwa mereka
dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka
tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum
mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya
Dia mengetahui orang-orang yang dusta``.
Oleh karena itu ketika ujian datang, kita semua
harus sadar bahwa kita sedang di uji. Sehingga kita mampu untuk mengadapi ujian
tersebut dengan penuh ketabahan dan keikhlasan serta berusaha semaksimal
mungkin sesuai dengan syarak. Lima kata kunci yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan ujian tersebut adalah sabar, ihlas, ihktiyar, doa dan tawakkal.
Memang tidak mudah dalam melaksanakannya. Tetapi itulah landasan dan solusi
agama yang diberikan kepada kita agar mampu bertahan dan lahir menjadi hamba
Allah yang terbaik. Sebagimana Allah jelaskan dalam surah Al-Mulk ayat 2:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
``Yang menjadikan mati dan hidup, supaya
Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha
Perkasa lagi Maha Pengampun``.
(167)
Di ayat sebelumnya; ayat 166, Allah telah
memberitahukan kepada kita salah satu hikmah kekalahan perang Uhud adalah untuk
menunjukkan mana orang-orang benar-benar beriman. Di dalam ayat ini, Allah memberitahukan
hikmah yang lain, yaitu untuk menunjukkan mana orang-orang yang munafik,
sehingga orang mukmin mengetahui mereka dengan jelas dan dapat menghindari
makar-makarnya.
Allah menjelaskan, bahwa
saat orang munafik itu diminta oleh orang beriman (bisa jadi Rasulullah bisa
juga sahabat) untuk ikut berjihad di jalan Allah, atau paling tidak bertahan
tetap bersama dalam barisan pasukan orang mukmin (karena dengan demikian jumlah
pasukan umat Islam terlihat banyak dan ini tentu memberi pengaruh kepada
musuh), mereka malah mengatakan dengan entengnya, “Kami tidak tahu
kalian sedang mengikuti peperangan. Kalau kami tahu, kami pasti ikut bersama
kalian.” Dengan jawaban mereka yang seperti itu, sudah sangat jelas bahwa
mereka lebih memihak kepada kekafiran daripada kepada keimanan.
~ Kalam
Allah (لَوْ نَعْلَمُ قِتَالًا
لَاتَّبَعْنَاكُم) yang artinya, “Sekiranya kami mengetahui akan terjadi
peperangan, tentulah kami mengikuti kamu”. Hal ini menunjukan kebusukan
hati orang-orang munafik dan kekerdilan mereka. Dimana
setiap mereka mendapatkan peringatan atau
nasehat,mereka
selalu mengelak, seakan mereka tidak bersalah. Bahkan
secara tegas mereka berbalik menuduk orang lainlah yang bersalah. Sebagaimana
Allah kabarkan dalam surah al-Baqarah:11, “Dan bila dikatakan kepada mereka:
"Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi". Mereka menjawab:
"Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.
Sama hal-nya sikap mereka dalam
perang Uhud. Mereka tidak pernah merasa salah atau menyesali apa yang mereka
lakukan. Bahkan lebih dari itu, mereka juga menyebarkan berbagai provokasi
busuk di tengah masyarakat.
~ Kalam Allah (يَقُولُونَ
بِأَفْوَاهِهِمْ), yang artinya, “Mereka mengatakan dengan
mulut-mulut mereka”, mengapa memakai kata jamak yaitu: afwah (mulut-mulut)?
Ini menunjukkan bahwa apa yang mereka omongkan itu banyak dan
macam-macam. Dan mereka menyebarkan
fitnah ke sana kemari. Mereka adalah provokator ulung.
~ Kalam Allah (وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا
يَكْتُمُونَ) yang artinya, “Dan Allah lebih mengetahui apa yang
mereka sembunyikan”, menunjukkan bahwa, munculnya sifat kemunafikan itu
karena merasa mampu menyembunyikan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang
ada dihati. Pandangan semacam ini dibantah oleh Allah yang menegaskan, bahwa
bagi Allah tidak ada sedikitpun yang tersembunyi, maka tidak pantas seseorang
melakukan kemunafikan, karena semua itu akan dibongkar oleh Allah baik didunia
maupun di akherat. Dalam ayat ini juga mempertegas landasan keimanan seorang
mukmin agar selalu sadar bahwa Allah maha mengetahui segala-galanya. Maka
jangan sampai mencoba menipu Allah seperti yang dilakukan oleh orang-orang
munafik. Sebagaimana Allah sampaikan dalam surah Al-Baqarah ayat 9
يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا
يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ
“Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang
beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar”.
Salah satu karakter orang munafik adalah selalu menolak
nasehat kebenaran. Mereka menolak karena iri dan merasa mendapat persaingan.
Mereka masih ingin “dianggap”, lalu terpaksa seakan-akan bersikap baik kepada
orang yang dia anggap menyainginya, tetapi sebenarnya dia menyembunyikan
kebencian. Hingga di suatu titik tertentu, apa yang mereka sembunyikan itu akan
ditampakkan oleh Allah. Maka hendaknya kita berhati-hati. Seperti yang terjadi
pada perang Uhud ini. Orang-orang yang dulunya ada di Madinah sebelum Islam
datang, mereka memiliki pengaruh di kalangan orang Madinah.
Ternyata setelah Rasulullah datang, pengaruh yang dulunya mereka miliki
lambat laun menipis. Mereka menganggap Rasulullah telah menyaingi dan merebut
kekuasaan dan pengaruh mereka hingga akhirnya mereka menampakkan diri sebagai
orang beriman. Padahal sebenarnya mereka lebih memihak kepada kekafiran
daripada kepada keimanan kepada Allah dan Rasulullah saw.
Orang itu baru diketahui bagaimana aslinya –apakah dia
benar-benar sabar, tawakkal, cinta pada Allah dan Rasulullah atau hanya mengaku
di bibir saja- bila dia sudah ditimpa berbagai ujian yang menyempitkan dirinya.
Bila keadaannya longgar dan lapang, gampang saja dia bilang bahwa dia sabar
sehingga tak banyak mengeluh. Tetapi bila diuji oleh Allah dengan sesuatu yang
menyusahkan, barulah dapat diketahui apakah dia benar-benar sabar atau tidak.
Dalam surat al-Ankabut
ayat 2-3 dijelaskan:
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ
يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ (2) وَلَقَدْ فَتَنَّا
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا
وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ (3)
“Apakah
manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami
telah beriman",
sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah
menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui
orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.
)168) Apa yang dilakukan oleh orang
munafik itu? Di dalam ayat ini diterangkan bahwa
orang munafik itu menyebarkan propaganda-propaganda busuk untuk mengejek dan
menjelek-jelekkan orang beriman dengan mengatakan, “Sekiranya mereka
yang ikut perang itu mentaati kita dan ikut pendapat kita, mereka tentu tidak
akan mati.
Mereka mengatakan seperti ini seakan
merekalah yang mengatur takdir. Seakan kematian itu bisa diatur kapan dan di
mana akan datang. Padahal kematian itu adalah sesuatu yang tak dapat ditebak
kapan datangnya, meski itu orang yang sakit sangat parah sekali pun. Maka
dari itu, Allah menyatakan kalau kalian benar dalam anggapan kalian bahwa
kalian mampu untuk menghindar dari mati, maka coba saja. Larilah ke mana pun
kalian mau lari. Tetapi kematian tetap akan menghampiri.
~ Kalam
Allah (الَّذِينَ قَالُوا لِإِخْوَانِهِمْ) yang artinya “Orang-orang yang mengatakan kepada
saudara-saudaranya”, menunjukkan pentingnya konsep “Al-mar`u ma’a diini
kholiilihi” (sesorang itu tergantung pada apa yang dicintai oleh temannya).
Orang itu akan senang bila berkumpul dengan orang yang punya kesamaan dengan
dirinya. Orang yang memiliki kecenderungan untuk melakukan perbuatan baik, maka
dia akan senang berkumpul dan bergabung dengan orang yang demikian. Begitu juga
sebaliknya. Maka dari itu, kita harus pandai memilih teman. Pilihlah teman yang
dapat mendekatkan diri kita kepada Allah, meningkatkan iman kita
kepada-Nya. Semakin kita berkumpul dengan orang shalih, insya Allah
kita juga akan menjadi semakin baik. Sebaliknya kalau teman dan kolega kita itu
adalah orang-orang munafik, maka sedikit banyak kita akan terpengaruhi
dengan prilaku mereka. Dan ini
terbukti pada kejadian perang uhud, dimana orang-orang
munafik selalu berusaha untuk mempengaruhi para kolega mereka.
Diantaranya dengan mengatakan, “Sekiranya mereka mengikuti kita,
tentulah mereka tidak terbunuh."
Kematian itu bisa datang dengan sebab yang
bermacam-macam. Perang atau tidak perang bukan menjadi penentu hidup atau mati.
Ikut perang berkali-kali seperti Khalid bin Walid juga tidak mati di dalam
perang, bahkan dia meninggal di atas tempat tidurnya. Kematian bisa saja
menghampiri seseorang walaupun dia bersembunyi di tempat paling aman sekali
pun. Sebagaimana Allah jelaskan dalam surah An-Nisa ayat 78
أَيْنَمَا تَكُونُوا
يُدْرِكْكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ
“Di
mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam
benteng yang tinggi lagi kokoh”
Oleh karena itu kematian hanya akan datang bila Allah
Ta’ala menghendaki kedatangannya. Bila kita ingat hal yang demikian, hidup akan
terasa nyaman. Sakit separah apapun, yakinlah bahwa kematian itu sudah
ditentukan oleh Allah.
قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي ضَرًّا وَلَا نَفْعًا إِلَّا
مَا شَاءَ اللَّهُ لِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ إِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ فَلَا
يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ
“Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak
dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukan(nya)” (QS.Yunus:49).
Menurut Ibnul Qayyim, salah satu hikmah dalam kisah
perang Uhud ini adalah, bahwa orang-orang munafik membongkar kedoknya sendiri
dan bagaimana Allah membantah tuduhan-tuduhan mereka, sehingga orang mukmin
mengetahuinya secara gamlang tentang kebusukan mereka agar orang mukmin dapat
lebih berhati-hati
(171) Di ayat sebelumnya, dikatakan bahwa para syuhada yang meninggal
dalam peperangan ingin memberikan kabar gembira kepada saudara seperjuangannya
yang belum menyusul mereka bahwa tak ada yang perlu ditakutkan dan disedihkan
setelah menjadi syahid. Maka di dalam ayat ini, Allah juga mengabarkan kepada
kita bahwa mereka sendiri pun sangat berbahagia dengan kenikmatan dan karunia
yang telah Allah limpahkan kepada mereka. Kenikmatan dan karunia Allah kepada
mereka sangat banyak dan tak terbatas. Allah itu sama sekali tidak akan berbuat
zhalim, dengan menyia-nyiakan pahala amalan hamba-hamba-Nya yang beriman.
Tetapi Allah akan memberikan balasan yang berlipat-lipat.
Di dalam
ayat sebelumnya; yaitu di ayat 170 Allah memberitahukan
kepada kita, bahwa syuhada ingin memberi kabar gembira dan merasakan kenikmatan
bersama-sama dengan saudara mereka. Kemudian di ayat 171, disebutkan bahwa
mereka sangat gembira dengan apa yang mereka dapatkan. Dari sini dapat diambil
kesimpulan, bahwa akhlak para syuhada itu sungguh sangat mulia. Kemuliaan akhlak
mereka saat mereka masih hidup terbawa sampai ketika mereka sudah meninggal.
Salah satu akhlak tersebut adalah itsar (mendahulukan
saudaranya dari pada dirinya sendiri). Mereka memikirkan saudara mereka
bagaimana supaya saudara mereka mendapatkan seperti apa yang mereka dapatkan.
Barulah di ayat 171 ini mereka menyebutkan tentang kegembiraan mereka sendiri.
Itsar atau sikap
mementingkan orang lain hanya terbatas dalam hal mu’amalah (interaksi
sosial) saja. Adapun dalam ibadah,itsar adalah sesuatu yang makruh.
Sebagaimana dalam kaidah ushul fikih disebutkan (Ghamzu ‘Uyunil Bashar, jz.
2, hlm. 259):
الْإِيثَارُ
فِي الْقُرَبِ مَكْرُوهٌ ، وَفِي غَيْرِهَا مَحْبُوبٌ
Al-Itsar dalam
hal ubudiyyah itu hukumnya makruh, sedangkan untuk selainnya hukumnya disukai.
Atau kaidah yang berbunyi “al-itsar fil ibadati makruh wa fi ghairiha
mustahab”.
Misal
contoh itsar yang diperbolehkan adalah ketika dalam kendaaraan
umum ada orang yang lebih tua atau wanita hamil yang tidak dapat tempat duduk,
maka kita berikan tempat duduk kita kepada orang tersebut, padahal kita juga
sangat membutuhkannya. Adapun contoh itsar yang tidak
diperbolehkan adalah mempersilakan seseorang untuk menempati shaf pertama
sedang dia memilih shaf yang kedua. Padahal shaf yang pertama lebih utama dari
shaf yang kedua.
بِنِعْمَةٍ
مِنَ اللَّهِ وَفَضْلٍ artinya dengan kenikmatan dan
karunia dari Allah. Ni’mah adalah segala bentuk pemberian yang
ada manfaatnya. Sedangkan fadhl adalah tambahan atas
keni`matan yang telah diterima. Kata ni`mah dan fadhl dalam
ayat ini berbentuk bentuk nakiroh (umum). Hal ini menunjukkan
bahwa kenikmatan dan karunia Allah yang diberikan kepada para syuhada` itu
tiada batasnya dan banyak sekali tiada taranya.
وَأَنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُؤْمِنِينَ ayat ini menegaskan banwa orang
yang mampu menahan hawa nafsunya, selalu mengedepankan kepentingan Allah dan
Rasul-nya, maka ketahuilah bahwasanya Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala
amal perbuatannya. Tetapi Allah akan memberikan balasan dengan berbagai keni`matan
dan karunia-Nya yang lebih besar dari apa yang seharusnya ia terima.
Oleh
karena itu orang beriman itu selalu
percaya pada Allah. Selalu yakin bahwa segala sesuatu itu
ada balasannya disisi Allah. Maka ia akan selalu merasa nyaman degan cara pengendalian
hawa nafsunya sendiri. Dalam sebuah ungkapan salaf dikatakan “Ra`su kulli
khair alkhoufu wal haya`. Pondasi utama untuk menjadi orang baik ada dua yaitu;
takut pada Allah dan malu dilihatAllah. Orang yang tak punya malu itu sama seperti hewan.
(172) Siapakah
orang-orang beriman itu? Mereka adalah orang-orang yang mentaati Allah dan
Rasul-Nya dalam segala kondisi dan di mana pun mereka berada. Duka lara atau
suka cita yang menimpa mereka, mereka tetap setia mentaati Allah dan Rasul-Nya.
Mereka selalu mendahulukan perintah Allah dan Rasul-Nya dari pada keinginan
pribadi, walapun dalam kondisi yang sangat sulit. Mereka yang berkepribadian
semacam itu adalah orang-orang yang berbuat baik dengan menjalankan apa yang
penjadi perintah Allah dan rasul-Nya dan meraka adalah termasuk orang bertakwa
kepada Allah. Orang-orang seperti ini-lah yang akan diberi pahala yang besar
oleh Allah.
Ayat ini turun sebagai pujian kepada orang-orang beriman
yang masih tetap mau mentaati Allah dan Rasul-Nya (dalam hal ini mereka
mentaati ajakan Rasul untuk pergi ke Hamra`ul Asad) meskipun mereka dalam
keadaan menderita lahir dan batin. Menderita lahir karena banyak luka di tubuh
mereka. Menderita batin karena kekalahan, kesedihan yang disebabkan oleh terbunuhnya
banyak muslimin seperti paman Rasulullah Hamzah.
Sebab
turun ayat ini, sebagaimana diterangkan al-Thabari dan lainnya, bahwa saat Abu
Sufyan dan teman-temannya memenangkan Perang Uhud dan kembali ke Mekkah tanpa
menghabisi orang-orang beriman. Sesampainya mereka di daerah “Rauha`”,
mereka menyesal mengapa membiarkan Rasulullah dan para sahabat begitu saja,
tanpa menawan mereka atau menghabiskan mereka sampai pada akar-akarnya. Setelah
itu, orang-orang kafir ingin kembali ke medan perang untuk melaksanakan niat
tersebut. Kabar bahwa orang kafir ingin menghabisi orang beriman sampai kepada
Rasulullah. Maka Rasulullah bersama para sahabat berangkat untuk
memberikan rasa takut dan menunjukkan kepada lawan bahwa mukminin itu kuat.
Ketika itu Rasulullah berkata, “Aku ingin menghadapi orang-orang kafir.
Tidak ada yang boleh ikut aku kecuali orang-orang yang ikut perang bersama
Rasulullah waktu itu (perang Uhud)”. Akhirnya Rasul dan para sahabat menuju ke
sebuah tempat yang bernama Hamra`ul asad. Tempat itu terletak di 3
mil dari Madinah. Di tempat itu, orang-orang kafir malah ketakutan dan
mengurungkan diri dari peperangan, lalu mereka pulang. (Tafsir al-Thabari:
7/399).
Orang yang berkata bahwa dirinya beriman, dia
harus membuktikan keimanannya itu. Banyak pengorbanan yang harus dilakukan
untuk membuktikannya. Iman tak cukup hanya di mulut saja. Atau di ahti saja.
Dia harus di ikrarkan
dalam hati, diucapkan dengan lisan, dibuktikan lewat amalan.
Ketaatan orang mukmin kepada Allah itu
sempurna dan penuh keyakinan, bukan ‘ala harfin (keraguan).
Apapun yang terjadi mereka tetap istiqamah meletakkan Allah dalam hatinya. Bila
dia diuji, dia akan menganggap ujian itu tak ada apa-apanya dibanding ujian
yang menimpa Rasul dan para sahabat, sehingga mereka bisa bersabar atas apapun
yang menimpa mereka.
Salah satu karakter orang beriman adalah gampang menerima
nasehat. Gampang taat dan tunduk bila diingatkan dengan ayat Allah. Begitu ayat
Allah turun, dia langsung mengamalkan. Karakter semacam inilah
yang di contohkan oleh para sahabat. Walupun mereka masih dalam kondisi lemah,
bahkan masih dalam kondisi berkabung, mereka tetap setia menjalankan apa yang
diperintahkan oleh Rasulullah. Padahal perintah ini mungkin tidak lebih ringan
dari apa yang telah mereka rasakan dalam perang Uhud.
لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا مِنْهُمْ وَاتَّقَوْا أَجْرٌ عَظِيمٌ huruf min dalam kata مِنْهُمْ di sini bukan min lit tab’idh atau min yang
menunjukkan sebagian. Tetapi min di sini adalah min
lil bayan. Yang berarti tetap dari kalangan orang beriman semuanya. Maka
makna dari potongan ayat ini adalah bagi semua orang yang berbuat baik dan
bertakwa ada pahala yang besar. Adapun salah satu faidah
dari menggunaan مِنْهُمْ -wallahu `alam- adalah
untuk menunjukan kecilnya jumlah orang yang mempunyai karakter seperti para
sahabat. Tidak semua orang yang mengaku beriman, mampu membuktikan keimanannya
tersebut dengan amal baik dan ketaqwaan, terutama dalam kondisi susah. Seperti
yang dialami para sahabat ketika itu.
Masih
ada satu hal yang diingatkan oleh Allah, yaitu:
takwa. Hampir seluruh ibadah dan perintah Allah itu
ujung-ujung yang ingin dicapai adalah ketakwaan. Karena
takwa adalah jima’u kullu khair yaitu yang mengumpulkan segala kebaikan. Misalnya malu
karena Allah adalah takwa. Belajar ilmu
karena Allah adalah takwa.
Apabila
seseorang telah mampu mencapai dan mengistiqamahkan ketaqwaan, maka
berbagai keistimewaan Allah akan berikan kepadanya. Baik didunia dan akherat.
Di dunia diantaranya, Allah akan memberikan solusi terhadap problem dan
diluaskan rizkinya (Ath-Thalaq: 2-3), kemudahan dalam urusan hidupnya
(Ath-Thalaq:4), dicurahkan berbagai keberkahan dari langit (al-`Araf:96),
disayang Allah, malaikat dan alam semuanya (Ali Imran:76), dijaga dari
kajahatan musuh (Ali Imran:120). Adapun diakherat diantaranya, taqwa menjadi
syarat terkabulnya amal (al-Maidah:27), pelebur dosa dan pelipat pahala
(Ath-Thalaq:5), tidak hanya menjadi pewaris surga, mereka para muttaqin menjadi
penghuni VIP di surga (Maryam:85 dan Az-Zumar:73)
أَجْرٌعَظِيمٌ pahala yang besar. Sebagaimana ni’mah dan fadhl yang nakiroh yang
berarti tanpa ada batas, maka ajrun ‘azhim ini juga begitu.
Umum yang berarti banyak dan tanpa batas. Dengan kata lain, Allah akan melipatgandakan pahala dan tidak akan
mengurangi pahala amalan kita. Baik di dunia maupun di akhirat.
Kecuali kerena perbuatan kita sendiri, misalkan dengan riya`, ujub dan ingin
mendapatkan pujian dari orang lain. Semua ini tentu akan menyia-nyiakan amal
kebaikan kita.
(173) Pada ayat ini dan sebelumnya,
Allah memberikan pujian kepada orang mukmin karena mereka mampu bertahan dan istiqamah
dalam mentaati Rasulullah. Bagaimana pun keadaan mereka, mereka tetap
berada dalam satu kondisi yaitu sam’an wa tha’atan (mendengar
dan mentaati) kepada Rasulullah saw. Pada ayat ini ditegaskan bahwa orang-orang beriman
ditakut-takuti dengan jumlah pasukan musuh yang banyak dan bersenjata lengkap.
Tetapi mereka tidak peduli itu. Mereka tetap taat kepada Rasul. Beliau
memerintah keluar, mereka juga akan tetap keluar, apapun resikonya. Saat mereka
ditakut-takuti itu, mereka bukannya malah jadi pengecut. Tapi mereka tambah
beriman kepada Allah dan semakin yakin bahwa Allah lah yang mengatur segalanya.
Allah-lah yang akan menolong mereka. bentuk kepasrahan mereka salah satunya
adalah dengan mereka mengatakan: حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ yaitu cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami. Dan
Dialah sebaik-baik pelindung.
Sebab turun ayat ini
sebagaimana dijelaskan para ahli tafsir, ringkasnya adalah bahwa Abu Sufyan ingin
kembali memerangi umat Islam. Dia
merasa tidak puas karena tidak sempat menghabisi kaum muslimin di perang Uhud. Maka dari itu, dia berkata
kepada Nabi Muhammad saw.: kita perang lagi suatu saat nanti di badr
ash-shughra. Lalu, lewat umar, Rasulullah menjawab: Baik, insyaAllah. Tatkala
sudah tiba waktunya perang, yaitu pada bulan Sya’ban tahun ke 4 (berjarak satu
tahun dari perang Uhud, karena perang Uhud terjadi pada bulan Syawwal tahun ke
3), Abu Sufyan berangkat bersama kaumnya dan sudah sampai di marrizh zhahran
(nama tempat). Saat itulah Allah memberikan rasa takut di hati Abu Sufyan. Maka
dari itu, dia ingin pulang saja. Di tengah jalan ketemu Nu’aim bin Mas’ud yang
datang ke Makkah untuk berumroh. Abu Sufyan berkata: “Aku sudah
berjanji dengan Muhammad untuk perang. Ternyata sekarang ini paceklik. Aku
ingin pulang saja. Tapi, kalau Muhammad berangkat dan aku tidak, maka hal itu
akan menambah Muhammad jadi besar kepala. Maka dari itu, kamu pergilah ke
Madinah. Kendori semangat mereka supaya mereka tidak jadi pergi ke Badr
Ash-Shughra. Sebagai imbalannya, aku akan memberimu 10 unta”. Nu’aim
sepakat lalu dia pergi ke madinah. Saat muslimun siap-siap, dia berkata: “Dulu
di perang uhud udah banyak dari kalian yang terbunuh, kalau kalian keluar lagi
dan perang lagi, nggak akan ada yang kembali. Mati semua kalian nanti.”Perkataan
Nu’aim ini mempengaruhi sebagian mukminin. Rasul tahu tentang itu lalu
bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku ini di tangan-Nya, sungguh aku akan
keluar menghadapi mereka meskipun aku sendirian”. Lalu Nabi saw. keluar
bersama sekitar 70 orang. Ibnu mas’ud ada di sana. Mereka pergi dan akhirnya
sampai ke Badr Ash-Shughra. Tetapi Rasul dan para sahabat tidak bertemu dengan
seorang pun dari kalangan musyrikin. Di Badr Ash-Shughra pada
saat itu lagi ada pasar musiman. Lalu
mukminin menggunakan waktu itu untuk jual beli. Mereka untung meski sedirham
dua dirham. Setelah itu mereka pulang keMadinah dalam keadaan selamat. Abu Sufyan juga lantas
pulang ke Mekkah.
Ulama berbeda pendapat dalam menentukan
siapa النَّاسُ (manusia)
yang pertama di ayat ini. Ada yang mengatakan: 1-Nu’aim bin Mas’ud Al-Asyja’i
yang mengendor-ngendori semangat orang beriman tetapi tidak berhasil. Mengapa
memakai lafal an-nas padahal yang dimaksud adalah satu orang saja yaitu Nu’aim
bin Mas’ud Al-Asyja’i? Karena dia menjadi wakil dari sekian banyak orang-orang kafir
yang dipimpin oleh Abu Sufyan. 2-Rombongan Nu’aim dari kalangan Bani Abdil Qais. Siapapun
dia, jelas orang tersebut mempunyai kridibilitas yang tinggi untuk melancarkan
perang opini terhadap orang Islam.
Yang dimaksud dengan النَّاسُ (manusia)
yang kedua di ayat ini adalah Abu Sufyan dan bala tentaranya.
Salah
satu ciri orang beriman adalah tidak merasa takut sedikit pun terhadap
orang-orang kafir. Meskipun keadaan mereka sangat didesak dan ditakut-takuti
oleh orang kafir, mereka tetap iman kepada Allah dan Rasulullah saw. Semakin
mereka ditekan, mereka akan semakin yakin bahwa Allah bersama mereka dan akan
selalu menolong mereka.
Dalam ayat ini, Allah memperjelas
tentang bagaimana bentuk kepasrahan orang-orang beriman. Mereka berdoa: حَسْبُنَا
اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ {Cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami.
Dan Dialah sebaik-baik pelindung}. Mereka benar-benar sadar bahwa Allah lah satu-satunya
yang bisa menolong. Sehingga tak ada alasan untuk tidak pasrah pada-Nya.
Kalimat حَسْبُنَا
اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ menunjukkan bahwa Allah ingin membangun
prinsip orang mukmin yaitu mereka harus menyakini bahwa Allah itu di atas
segalanya. Maka di ayat lain disebutkan; ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihil
mashir. Maka dari itu, kita harus senantiasa mengikatkan diri kepada Allah.
Kalau sudah mengikatkan diri kepada Allah, maka tak akan mungkin kita minder.
Pasti akan semangat dalam bekerja dan beramal shalih.
قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ (mereka
telah mengumpulkan untuk kalian). Di sini tidak disebutkan mengumpulkan apa.
Tujuan orang kafir adalah supaya orang-orang mukmin mencapai batas maksimal
khayalan mereka tentang jumlah musuh dan persenjataannya yang lengkap. Bila
orang-orang mukmin sudah membayangkan akan banyak sekali musuh yang datang,
maka mereka menyangka itu akan menyurutkan semangat orang mukmin.
Orang itu kalau benar-benar beriman kepada
Allah, bila dia diuji oleh-Nya, dia akan semakin beriman kepada-Nya. Tak akan
putus asa. Tak akan berkecil hati. Akan terus semangat dan berpikir positif.
Selalu husnudzon pada Allah karena tahu bahwa Allah itu ada
pada persangkaan hamba-Nya. Bila dia bekerja, dia selalu berusaha untuk
mengikhlaskan niat, profesional (kerjanya bagus dan dapat diandalkan), punya
disiplin yang tinggi, optimis dan tidak mudah berhenti sehebat apapun ujian
yang menderanya.
(174) Ayat ini menerangkan tentang hikmah kepasrahan
mereka kepada Allah Mereka dapat kembali ke Madinah dalam keadaan selamat,
mendapatkan kenikmatan dan karunia yang tiada taranya. Tanpa luka-luka sedikit
pun karena musuh sudah menyerah sebelum perang terjadi. Bahkan mereka bisa
sekalian berdagang dan mendapatkan untung. Dengan demikian, Allah
menegaskan bahwa mereka yang ikut bersama Rasulullah saw untuk perang melawan
Abu Sufyan dan bala tentaranya adalah orang-orang yang benar-benar mengikuti
apa yang diperintahkan oleh Rasulullah. Mereka benar-benar setia dan selalu mentaati
beliau. Orang-orang seperti ini tak akan pernah rugi. Mereka mendapatkan
sesuatu yang tidak didapatkan oleh orang-orang yang tidak ikut bersama Rasul untuk memerangi Abu Sufyan.
Terlebih lagi, ternyata mereka tidak jadi perang, tidak ada yang luka, pulang
dalam keadaan selamat dan dapat keuntungan dari perdagangan di pasar tahunan
Badr Shughra. Ini adalah kenikmatan yang tiada taranya. Apalagi pujian Allah
kepada mereka itu akan terus dikenang dan dibaca sampai hari kiamat.
فَانْقَلَبُوا orang-orang
mukmin kembali ke Madinah dalam keadaan senang. Mereka tidak jadi perang karena musuh tak datang. Tapi
bukan berarti mereka kembali dalam keadaan tangan hampa atau tangan kosong.
Bahkan mereka mendapatkan kenikmatan dari Allah berupa kemenangan, untung dalam
perdagangan, pujian dari Allah dan masih banyak lagi.
مِنَ اللَّهِ وَفَضْلٍ sejatinya,
kemuliaan dan ketinggian derajat itu hanya dari Allah saja. Jangan sampai salah
paham. Kemuliaan yang dimiliki oleh mukminin dan kafirin itu berbeda. Kalaupun
di dunia ini kelihatannya enak tapi keadaan itu akan terus berlanjut. Sering
kita ini tertipu oleh realita yang ada. Sering merasa Allah tidak adil memberi
rizki pada kita. Kita merasa telah rajin ibadah tapi tidak lebih kaya dari
orang kafir. Kita perlu tahu, bahwa dalam Islam itu ada sebuah konsep yang
bernama istidraj. Mereka dibiarkan semakin menikmati dunia ini. Merasa dengan
kenikmatan yang mereka dapatkan karena mereka telah menjalankan kebenaran.
Maka, bila telah tahu semua ini, pantaskah kita su`uzhan pada Allah yang
mungkin belum memberi kita kekayaan sebanyak orang kafir? Pantaskah kita minder
dan merasa mereka lebih mendapatkan kenikmatan? Bila iman masih ada dalam hati,
tentu jawabannya adalah tidak.
وَاتَّبَعُوا
رِضْوَانَ اللَّهِ mereka telah mengikuti keridhaan Allah. Wujudnya adalah
dengan mengikuti perintah Rasul. Oleh karena itu, ayat ini ditutup dengan وَاللَّهُ
ذُو فَضْلٍ عَظِيمٍ . Ini
adalah bentuk penghargaan Allah terhadap orang mukmin yang setia kepada Rasul.
Hal ini juga mengakibatkan kekecewaan orang yang tidak ikut perang uhud. Karena
tentu mereka tak dapat keutamaan yang diberikan kepada yang ikut perang.
Bila kita benar-benar memahami, maka kita
seharusnya sadar bahwa kebahagiaan bagi kita adalah keridhaan Allah saja.
Segala sesuatu, senikmat dan sebanyak apapun, bila Allah tidak ridha, itu bukan
kebahagiaan. Tetapi sedikit apapun yang kita punya, asal allah ridha, itulah
kebahagiaan yang hakiki. Sebab keridhaan Allah-lah yang akan mengantar kita
pada jannah yang kenikmatannya abadi. Dan kemurkaan Allah-lah yang akan
mengantar kita pada neraka yang kepedihannya abadi.
Bila
hati sudah buta, dia akan merasa kurang terus dengan kenikmatan yang telah
Allah beri. Semakin tahu ada yang lebih dari apa yang dia miliki, dia semakin
berambisi untuk mendapatkannya. Itu karena hatinya sudah buta. Mereka tidak
memperdulikan lagi kebarokahan harta benda. Padahal kebarokahan itulah yang
paling pentingkarena kebarokahan itu mempengaruhi bertambahnya kebaikan.
Sekarangkebarokahan sulit dicari. Manusia lebih mengejar kuantitas (jumlah yang
banyak) dan tidak peduli lagi dengan kualitas.
(175) Di ayat sebelumnya telah disebutkan bahwa orang-orang
munafik dan orang-orang kafir mengendor-ngendorkan semangat orang-orang beriman
ketika hendak menuju perang untuk memenuhi janji.
Maka di ayat ini, Allah memberitahukan kepada kita bahwa
perang saraf dan opini yang dilakukan oleh orang-orang munafik dan orang-orang
kafir untuk meredam semangat orang beriman, semua itu bersumber dari bisikan
setan. Setan lah yang mengomandani perbuatan mereka.
Oleh karena itu seorang mukmin tidak boleh takut kepada
selain Allah.Tidak boleh takut kepada setan dan balatentaranya yaitu
orang-orang kafir, munafik dan musyrik yang selalu menakut-nakuti orang mukmin
dalam memperjuangkan agamanya.
Kalimat يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ , yang berarti
dia (setan) menakut-nakuti teman-teman setianya, memiliki 3 penafsiran yang
intinya sama, yaitu: setan dan bala tentaranya dari kalangan manusia
–orang-orang kafir-, menakut-nakuti orang-orang yang ingin berjuang di jalan
Allah. Mereka mengendori dan meredam semangat juang orang beriman.
Hal semacam ini masih saja berlangsung sampai sekarang.
Hanya saja mungkin caranya berbeda. Kita lihat sekarang, orang-orang kafir itu
berusaha membuat orang-orang Islam takut menjalankan agamanya sendiri secara
kaffah(menyeluruh). Mereka membuat orang-orang Islam enggan mempelajari dan
mengenal agama mereka sendiri dengan lebih mendalam. Caranya adalah dengan
merusak Islam di mata publik. Mereka mengatakan Islam adalah agama teroris,
orang memakai jubah dan cadar lalu sengaja bertindak kriminal supaya merusak kebersihan
hijab, dll. Ini adalah tipu daya setan. Barang siapa yang mengaku beriman,
hendaknya dia tidak takut terhadap makar atau tipu daya mereka. Hendaknya
hal-hal tersebut tidak membuatnya semakin meninggalkan agamanya. Sebaliknya,
fenomena semacam itu menjadi cambuk yang memperkuat semangat untuk membela dan
menunjukkan esensi Islam yang sesungguhnya. Bahwa Islam adalah agama yang benar
dan indah. Bahwa hanya dengan syari’at Allah-lah manusia akan hidup dengan
damai dan tentram.
Di ayat
ini disebutkan: فَلَا
تَخَافُوهُمْ . Dhamir hum kembali
kepada setan dan teman-teman setianya. Allah melarang kita takut kepada mereka.
Dan memberi solusinya yaitu وَخَافُونِ –dan takut
lah kepadaKu-, kita diperintah untuk takut hanya kepada Allah saja. Kalau
sudah tahu seperti ini, sebagai orang yang beriman, hendaknya kita tak pernah
merasa rendah di hadapan orang-orang kafir. Sekuat apapun mereka,sekaya apapun mereka, secanggih apapun peralatan
meraka, semua itu tidak boleh menyebabkan kita merasa kecil hati atau minder.
Bila ada dalam hati kita perasaan takut, minder, kecil hati di hadapan
orang-orang kafir, maka iman dalam hati kita perlu dipertanyakan lagi. Ayat ini
ditutup dengan: إِنْ
كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ . Kalau benar-benar beriman, maka kita
tak akan takut kepada orang-orang kafir.Tidak takut untuk terus
memeperjuangkan agama Allah, walupun harus menghadapi berbagai tuduhan miring,
dikecam, dihina, diancam bahkan dibunuh.
(176) Ayat
ini turun sebagai pelipur lara bagi perasaan Rasulullah. Bagaimanapun, Rasulullah
tetap manusia bisa sedih bisa gembira. Kedurhakaan orang-orang kafir sedikit
banyak mempengaruhi perasaan Rasulullah.
Dalam ayat ini Allah melarang Rasulullah bersedih. Allah
menghibur beliau bahwa kebahagiaan mereka di dalam kekafiran itu tidak akan
merugikan Allah sama sekali. Tak akan pernah menyakiti Allah sedikitpun.
Ayat ini menunjukkan betapa bencinya
orang-orang kafir kepada Rasulullah dan Islam. Dan betapa mereka bahagia dengan
kekafirannya. Hal ini dapat disimpulkan dari يُسَارِعُونَ
فِي الْكُفْرِ
yang artinya mereka bersegera dalam kekafiran. Orang yang senang dan bahagia
terhadap sesuatu, maka dia pasti akan bersegera untuk menuju ke sana.
Ayat
ini turun untuk menghibur Rasul dan melarang agar Rasul dan umat beliau jangan sampai
sedih kalau ada di antara orang kafir itu yang bersegera, bercepat-cepat
melaksanakan gerakan kekufuran mereka. Tetapi bukan berarti bila melihat
kondisi umat yang tidak mau taat, kita boleh berleha-leha dan senang dengan
keadaan itu. Yang dimaksud sedih di sini adalah jangan sampai jangan sampai
kita lemah dan punya prasangka yang tidak benar. Seakan-akan musuh-musuh Islam
itu sangat kuat dan kita tak yakin kita bisa mngalahkan mereka. bersedih boleh
melihat kondisi umat yang begini tapi kalau sampai merasa bahwa mereka bisa
segalanya dan kita lemah, itu salah. Jangan sampai
kita ini punya perasan seperi itu.
Kenapa tidak boleh sedih dengan
bersegeranya mereka melaksanakan gerakan kekufuran mereka? Karena kekufuran,
kemunafikan dan kemusyrikan mereka itu tak akan memadhoroti Allah sedikitpun.
Tidak akan bermanfaat apa-apa bila Allah tidak menghendaki. Allah itu maha
segalanya. Bila Allah tak ingin kita celaka karena orang kafir, maka kita tak
akan mungkin celaka karena mereka. maka dari itu, sangatlah pantas kita memohon
kepada Allah agar Allah selalu melindungi kita dari setan dan bala tentaranya.
Bila kita
mengamati kejadian sekarang ini. Banyak di antara kaum muslimin yang tidak
lebih kaya dari orang kafir. Bahkan mereka cenderung sukses bekerja, belajar,
dll. Mereka terlihat lebih unggul dari muslimin. Apakah itu tanda kasih sayang
Allah? Jangan pernah salah!!! Mereka itu bukannya di sayang oleh Allah. Malah
justru dilulu. Kasih sayang Allah itu bukan ditunjukkan dengan banyaknya materi
yang kita miliki.
Tetapi kasih sayang Allah yang hakiki itu dengan
pemberian iman dan takwa. Karena hanya dua hal itu yang akan menyelamatkan
pemiliknya dari adzab yang abadi. Allah memberikan materi kepada siapapun di
dunia ini. Baik mukmin maupun kafir. Dalam ayat ini disebutkan bahwa: يُرِيدُ اللَّهُ أَلَّا يَجْعَلَ لَهُمْ حَظًّا فِي
الْآَخِرَةِ Allah ingin mereka besok di akhirat itu tak
punya lagi bagian yang baik karena mereka sudah memuas-muaskan diri mereka di
dunia. Maka dari itu, ktia jangan sampai minder kepada orang kafir. Tetapi
jangan pula dengan hal ini lantas menyebabkan kita tidak bekerja dan
beranggapan bahwa miskin tidak apa-apa tanpa berusaha. Semuanya harus pada
tempatnya.
حَظًّا di sini
berarti bagian. Berbeda dengan nashiibun. Kata hazhzhan, biasanya
untuk sesuatu yang baik dan positif. Adapaun kata nashiibun bisa
untuk yang baik bisa untuk yang buruk.
(177) Orang-orang
kafir dan munafik itu menjual sesuatu yang berharga berupa keimanan dengan
sesuatu yang tidak berharga yaitu kekufuran. Hal ini karena sudah jelas bagi
mereka dalil-dalil kebenaran Al-Quran, dalil-dalil kebenaran Rasulullah saw,
dan dalil-dalil kebenaran agama Islam. Tetapi mereka malah menjual itu semua
dengan menukar dan mengambil kekufuran. Mereka beranggapan bahwa apa yang
mereka lakukan itu, mampu memberi efek negatif kepada agama Islam dan pemeluknya.
Namun apa yang terjadi tidak lah seperti apa yang mereka pikirkan. Agama
Allah, rasul Allah, dan para pejuang Allah tidak akan terkena efek negatif
sedikitpun dari apa yang mereka lakukan. Dan bagi orang-orang kafir nantinya
akan mendapatkan siksa yang menyakitkan.
Kata (اشْتَرَوُا). Makna asalnya adalah jual-beli. Ketika
membeli sesuatu, berarti ada yang dibeli, dan ada penggantinya (yang digunakan
untuk membeli). Dalam ayat ini dikatakan bahwa orang-orang kafir itu membeli
kekufuran dengan menjadikan iman sebagai alat pembayarannya. Dalam bahasa Arab
ini disebut dengan isti’arah tamtsiliyah, yaitu majaz yang
digunakan untuk menggambarkan suatu kejadian karena adanya sisi kesamaan.
Kata-kata لَنْ يَضُرُّوا اللَّهَ شَيْئًا
ini tentunya tidak langsung kepada Allah, karena sudah pasti bahwa Allah itu
tidak termadharati dengan sesuatu apa pun. Maka yang dimaksud di sini adalah
agama Allah, utusan Allah, dan para pejuang agama Allah. Mereka itu tidak akan
terkena efek negatif dari apa yang dilakukan orang-orang kafir. Bagi orang
mukmin sejati, yang demikian itu akan menambah keimanan dan memicu semangat
untuk terus berjuang menegakakan panji-panji tauhid dimuka bumi ini.
Logika yang diisyaratkan dalam ayat
ini adalah memakai logika mereka sendiri (orang kafir). Dimana mereka adalah
“para pecinta dunia”, dan pecinta dunia itu akan selalu menjadikan materi
sebagai standar segala sesuatu. Pola pikir semacam ini seharusnya mampu
menyadarkan. Dimana logika bisnis, jika membeli sesuatu mesti sesuatu yang
bermutu dan berkualitas.Tetapi mereka justru sebaliknya. Karena kebodohan dan
kedengkian mereka, bukannya mereka membeli sesuatu yang berkualitas, tetapi
justru memilih yang tidak berkualitas (kekufuran). Ini sangat tidak masuk akal,
namun demikianlah yang terjadi. Maka bukannya keuntungan yang mereka dapatkan
dari apa yang mereka bisniskan, melainkan siksaan yang amat pedih. Bahkan apa
yang mereka perkirakan punya efek negatif, (karena tujuan mereka untuk memberi
pengaruh negatif kepada orang Islam sehingga orang Islam takut dan jauh dengan
agama, semakin tidak yakin dengan kepercayaannya), itupun ternyata tidak
terjadi. Karena apa yang mereka lakukan itu, justru malah semakin memperkuat
keimanan orang-orang mukmin untuk memperjuangkan agamanya.
وَلَهُمْ
عَذَابٌ أَلِيمٌ Di
sini jar majrur didahulukan, dimana susunan asal dalam tata bahasa arab adalah لَهُمْعَذَابٌ
أَلِيمٌ dengan susunan
mubtada` khabar. Tapi disini khabarnya didahulukan, tujuannya,
lil istihqoq, artinya mereka itu memang berhak mendapatkan siksa yang
pedih, mereka tidak bisa lagi menghindar. Selain itu penggunaanعَذَابٌ
أَلِيمٌ, dengan
nakiroh, tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa azab yang akan mereka terima
itu sungguh tidak terbanyangkan kepedihannya sama sekali.
(178) Janganlah
orang-orang kafir itu menyangka bahwa Allah memberi tangguh atau tempo kepada
mereka, Allah membiarkan mereka hidup tenang, nyaman, enak, dsb. Itu semua
merupakan kebaikan bagi mereka. Tidak. Allah memberikan semuanya itu sebagai istidraj
supaya bertambah dosa mereka kemudian mereka akan merasakan adzab yang
menghinakan.
Kita harus memahami bahwa Allah membiarkan orang
kafir hidup nyaman itu supaya bertambah banyak dosa mereka. Dengan banyaknya
dosa yang mereka lakukan, balasan siksaan yang setimpal akan mereka peroleh.
Oleh karenanya orang mukmin jangan tergiur dengan kehidupan mereka. Orang
sering berpikir, “kenapa orang-orang kafir hidupnya nyaman, padahal tidak
pernah shalat, tidak pernah ke pengajian. Sedangkan kita yang ngaji, shalat,
dll kok seret rizqinya”. Pemikiran seperti ini harus kita hilangkan, karena
ibadah itu tidak ada kaitannya dengan kaya atau miskin. Melainkan ibadah adalah
sebuah kewajiban sebagai hamba Allah (Adz-dzariyat:56). Kalau ingin kaya, ya
harus bekerja dengan benar.
Dalam
pandangan Islam “ad-dunya sijnul mukmin” (dunia adalah penjara bagi orang
mukmin) dunia ini bukan tempat kita berpesta pora, bersenang-senang, tapi
banyak aturan. Bahkan dalam kondisi kita senang pun juga ada aturannya ,
misal ketika nikah, berhariraya, dsb,. Prinsip orang beriman berbeda dengan
orang kafir. Meskipun sudah dinyatakan oleh Rasulullah bahwa dunia ini
khadhiratunhulwatun (menawan dan nikmat) (HR.Muslim), tapi kita diperlihatkan
kehidupan lain, yakni kehidupan akherat yang kekal abadi. Adapun orang kafir
melihat dunia ini adalah segala-galanya. Maka Orientasi orang kafir adalah
dunia, sampai-sampai mereka berusaha semaksimal mungkin bagaimana agar tetap
hidup, tetap muda. Tetapi, walau bagaimana pun usaha mereka ini tidak akan
pernah berhasil, karena Rasul sudah menyatakan “dua yang tidak ada obatnya,
yaitu pikun dan kematian”.
Dalam
ayat ini Allah menggunakan “adzabun muhin” (siksaan yang menghinakan).
Pada umumnya persepsi orang itu dunia ini mengangkat derajat. Misalnya orang
pakai dasi, necis, walau korupsi tetap dihormati. Maka Allah mempertegas bahwa
dunia yg mereka anggap mampu menjadikan orang bahagia, mulia, itu cuma sebatas
di dunia, tapi nanti akan dihinakan dengan sehina-hinanya di akherat.
(179) Allah mempertegas bahwa
perjalanan hidup, cobaan hidup, termasuk apa yang terjadi pada perang Uhud
adalah untuk membentuk sebuah tangga kehidupan, untuk membedakan mana orang
yang baik dan yang buruk, mana orang yang imannya benar-benar mukhlish. Dan
Allah tidak memperlihatkan barang yang ghaib kepada sembarang orang, tetapi
Allah memilih orang yang Dia kehendaki dari kalangan rasul-Nya. Artinya tidak
semua keghaiban itu diberikan dan tidak semua rasul diberi keghaiban. Keghaiban
itu hanya milik Allah dan Allah hanya memberikan kepada orang yang Dia
kehendaki. Hal yang ghaib itu tidak bisa diketahui kecuali lewat wahyu yang
bersumber dari Allah. Oleh karena itu berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya,
dan kalian akan mendapatkan pahala yang besar.
Allah memberikan ujian kepada manusia ini dengan
tujuan untuk memunculkan orang-orang yang benar-benar ikhlash. Ulama
menyatakan, “Setiap orang itu celaka kecuali orang ynag berilmu, dan tiap orang
yang berilmu itu celaka kecuali orang yang beramal, sedangkan setiap yang
beramal itu celaka kecuali orang yang ikhlash”.
Dalam
ayat ini Allah menggunakan bahasa simbol “khabits (untuk orang kafir/munafiq)
dan thayyib (untuk orang beriman)”. Ini menunjukkan bahwa orang beriman itu
thayyib, bagus, lahir maupun batinnya. Dalam Shahih Bukhari disebutkan bahwa
permisalan orang beriman yang membaca Al-Qur`an itu seperti buah utrujah
(sebangsa buah apel), bau dan rasanya enak.Orang mukmin itu bagus, baik secara
fisik maupun mental. Orang Islam tidak identik dengan compang-camping, seperti
yang disalahpahami oleh sebagian orang sufi dengan alasan zuhud. Oleh karena
itu, Jangan memahami Islam secara parsial, karena akan menyebabkan salah paham
atau salah penafsiran dalam agama ini. Seperti orang buta memegang gajah, hanya
kakinya, lalu dia mengatakan bahwa gajah itu seperti bambu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar