Senin, 08 Januari 2018

Tafsir Tahlili Ali Imran: 165-179

Muhammad Fadhlan Syaifudin
NIM: 151410507
Ushuluddin 5B
Institut PTIQ Jakarta

Tafsir Tahlili
Surah Ali Imran: 165-179
أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (165) وَمَا أَصَابَكُمْ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ فَبِإِذْنِ اللَّهِ وَلِيَعْلَمَ الْمُؤْمِنِينَ (166) وَلِيَعْلَمَ الَّذِينَ نَافَقُوا وَقِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا قَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوِ ادْفَعُوا قَالُوا لَوْ نَعْلَمُ قِتَالًا لَاتَّبَعْنَاكُمْ هُمْ لِلْكُفْرِ يَوْمَئِذٍ أَقْرَبُ مِنْهُمْ لِلْإِيمَانِ يَقُولُونَ بِأَفْوَاهِهِمْ مَا لَيْسَ فِي قُلُوبِهِمْ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يَكْتُمُونَ (167) الَّذِينَ قَالُوا لِإِخْوَانِهِمْ وَقَعَدُوا لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا قُلْ فَادْرَءُوا عَنْ أَنْفُسِكُمُ الْمَوْتَ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (168) وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ (169) فَرِحِينَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَيَسْتَبْشِرُونَ بِالَّذِينَ لَمْ يَلْحَقُوا بِهِمْ مِنْ خَلْفِهِمْ أَلَّا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (170) يَسْتَبْشِرُونَ بِنِعْمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَفَضْلٍ وَأَنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُؤْمِنِينَ (171) الَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِلَّهِ وَالرَّسُولِ مِنْ بَعْدِ مَا أَصَابَهُمُ الْقَرْحُ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا مِنْهُمْ وَاتَّقَوْا أَجْرٌ عَظِيمٌ (172) الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ (173) فَانْقَلَبُوا بِنِعْمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَفَضْلٍ لَمْ يَمْسَسْهُمْ سُوءٌ وَاتَّبَعُوا رِضْوَانَ اللَّهِ وَاللَّهُ ذُو فَضْلٍ عَظِيمٍ (174) إِنَّمَا ذَلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ فَلَا تَخَافُوهُمْ وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (175) وَلَا يَحْزُنْكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْكُفْرِ إِنَّهُمْ لَنْ يَضُرُّوا اللَّهَ شَيْئًا يُرِيدُ اللَّهُ أَلَّا يَجْعَلَ لَهُمْ حَظًّا فِي الْآخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ (176) إِنَّ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الْكُفْرَ بِالْإِيمَانِ لَنْ يَضُرُّوا اللَّهَ شَيْئًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (177) وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ خَيْرٌ لِأَنْفُسِهِمْ إِنَّمَا نُمْلِي لَهُمْ لِيَزْدَادُوا إِثْمًا وَلَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ (178) مَا كَانَ اللَّهُ لِيَذَرَ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى مَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ حَتَّى يَمِيزَ الْخَبِيثَ مِنَ الطَّيِّبِ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى الْغَيْبِ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَجْتَبِي مِنْ رُسُلِهِ مَنْ يَشَاءُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَإِنْ تُؤْمِنُوا وَتَتَّقُوا فَلَكُمْ أَجْرٌ عَظِيمٌ (179)

         
(165) Di dalam ayat ini, Allah mengingatkan kepada orang mukmin umumnya dan orang munafikhususnya, tentang salahnya perkataan mereka saat mengetahui kekalahan pada perang Uhud. Bagaimana perkataan mereka? Mereka mengatakan dengan nada terheran-heran: Bagaimana mungkin kekalahan ini terjadi? Bukankah kita bersama Rasulullah? Bukankah kita ada di pihak yang benar? Kenapa bisa kalah?.
            ~   أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ. a’ di sini adalah ‘a’ istifhamiyyah inkariyah untuk memberi kesan keheranan. wa’ adalah waw athof. Sehingga أوَلَمَّا  artinya dan bukankah ketika kalian tertimpa musibah.
        ~ مُصِيبَة ,maknanya adalah segala sesuatu yang menimpa seseorang dan sesuatu tersebut tidak disukai. Bisa mengena pada jiwa, raga atau harta, baik ringan maupun berat. Dan perlu diketahui, bahwa termasuk kategori musibah adalah yang menimpa keimanan seseorang. Dan ini sebenarnya musibah yang terberat. Sebab, akidah adalah penentu selamat atau tidaknya kita dari adzab Allah. Maka dari itu, marilah kita semua berlindung kepada Allah dari musibah yang menimpa pada akidah kita. Misalnya, hidup di lingkungan orang kafir, disiksa dan dipaksa untuk menjadi kafir. Atau bisa juga dengan cara yang halus, tidak terasa, namun pelan-pelan iman kita digerogoti dengan berbagai cara.
              Tujuan ayat ini adalah meluruskan berbagai persepsi atau angggapan salah dari sebagaian orang mukmin dan mengungkap hakikat keimanan seseorang, serta kebusukan orang-orang munafik. Karena ketika umat Islam menang dalam perang Badar, banyak orang munanfik masuk Islam dengan tujuan mendapatkan rampasan  perang. Namun dalam kekalahan uhud, niatan busuk mereka terbongkar. Tujuannya adalah agar umat Islam waspada dengan perilaku busuk mereka. Bahwa orang munafik kapanpun dan dimanapun yang dikejar hanyalah keuntungan duniawi.
Belajar dari ayat 165, seharusnya orang mukmin kapanpun dan dimanapun, harus sadar betul bahwa musibah yang menimpa, kekalahan yang diderita, kondisi umat yang terpinggirkan, semua itu adalah karena kesalahan yang di perbuat oleh orang islam sendiri. Lihatlah orang islam, lebih senang berteman dengan musuh Allahsenang memakai UU selain syariat Allah, senang berselisih, saling menyalahkan, tidak mau bersatu, tidak mau belajar. Semua kondisi semacam ini, tentu tidak menguntungkan kemajuan umat Islam. Jika umat islam terpuruk, maka itu sudah sewajarnya. Jangan menyalahkan orang lain atau islam sebagai agama. Karena sejarah mencatat, bahwa islam pernah mengangkat derajat umatnya di belantara peradaban dunia, dikala mereka tunduk dan bersatu dalam panji-panji Islam.



            (166) Allah menegaskan dalam ayat ini, bahwa apa yang terjadi saat perang Uhud itu adalah atas izin dari Allah. Salah satu tujuannya adalah untuk memperlihatkan kepada semua hamba-Nya, mana yang benar-benar beriman tunduk kepada perintah Allah dan Rasul-Nya.
  ~     يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ  iltaqa artinya bertemu. Al-jam’an artinya dua kelompok besar. Yaumal taqal jam’an artinya adalah hari pertemuan antara dua kelompok yang besar, yaitu di hari perang antara orang mukmin dan kafir.

 ~    
وَلِيَعْلَمَ الْمُؤْمِنِينَ   (dan supaya Dia –Allah- Tahu mana orang-orang beriman). Maksud dari supaya Allah tahu di sini bukan Allah sebelumnya tidak tahu. Tetapi supaya Allah memperlihatkan dan menunjukkan kepada semua hamba-Nya bahwa inilah orang beriman atau inilah orang munafik atau inilah orang kafir. Allah itu Maha Tahu segala-galanya. “Innallaha ya’lamu ghaibas samaawaati wal ardh”.
Apapun yang menimpa kita, baik senang maupun susah, semuanya sudah ditetapkan oleh Allah. Maka kembalikan semuanya hanya pada Allah. Maka hendaknya kita yakin terhadap qadha dan qadar dari Allah. Tetapi kita juga tidak diperbolehkan untuk menyerah begitu saja tanpa berusaha semaksimal mungkin. Karena masalah qadha dan qadar adalah hak pribadi Allah. Dan kita sebagai manusia diperintahkan untuk berusaha maksimal sesuai tuntunan syariat. Karena bisa saja Allah mengantungkan terjadinya sesuatu bergantung kepada usaha-usaha kita.
Musibah yang menimpa orang kafir dinamakan adzab atau siksaan. Bagi kita sebagai orang yang beriman menyakini bahwa musibah yang menima seorang mukmin pada dasarnya adalah bukan adzab / siksaan. Namun lebih tepat sebagai ujian untuk meningkatkan kualitas keimanan seseorang. Karena keimanan seseorang, itu bukan berarti ia bebas dari ujian. Bahkan dalam surat al-‘Ankabut ayat 2-3 secara gamblang ditegaskan:
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ (2) وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ (3)
``Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta``.
Oleh karena itu ketika ujian datang, kita semua harus sadar bahwa kita sedang di uji. Sehingga kita mampu untuk mengadapi ujian tersebut dengan penuh ketabahan dan keikhlasan serta berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan syarak. Lima kata kunci yang dibutuhkan untuk menyelesaikan ujian tersebut adalah sabar, ihlas, ihktiyar, doa dan tawakkal. Memang tidak mudah dalam melaksanakannya. Tetapi itulah landasan dan solusi agama yang diberikan kepada kita agar mampu bertahan dan lahir menjadi hamba Allah yang terbaik. Sebagimana Allah jelaskan dalam surah Al-Mulk ayat 2:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
 ``Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun``.

            (167) Di ayat sebelumnya; ayat 166, Allah telah memberitahukan kepada kita salah satu hikmah kekalahan perang Uhud adalah untuk menunjukkan mana orang-orang benar-benar beriman. Di dalam ayat ini, Allah memberitahukan hikmah yang lain, yaitu untuk menunjukkan mana orang-orang yang munafik, sehingga orang mukmin mengetahui mereka dengan jelas dan dapat menghindari makar-makarnya.
Allah menjelaskan, bahwa saat orang munafik itu diminta oleh orang beriman (bisa jadi Rasulullah bisa juga sahabat) untuk ikut berjihad di jalan Allah, atau paling tidak bertahan tetap bersama dalam barisan pasukan orang mukmin (karena dengan demikian jumlah pasukan umat Islam terlihat banyak dan ini tentu memberi pengaruh kepada musuh), mereka malah mengatakan dengan entengnya, “Kami tidak tahu kalian sedang mengikuti peperangan. Kalau kami tahu, kami pasti ikut bersama kalian.” Dengan jawaban mereka yang seperti itu, sudah sangat jelas bahwa mereka lebih memihak kepada kekafiran daripada kepada keimanan.
~          Kalam Allah (لَوْ نَعْلَمُ قِتَالًا لَاتَّبَعْنَاكُمyang artinya, “Sekiranya kami mengetahui akan terjadi peperangan, tentulah kami mengikuti kamu”. Hal ini menunjukan kebusukan hati orang-orang munafik dan kekerdilan mereka. Dimana setiap mereka mendapatkan peringatan atau nasehat,mereka selalu mengelak, seakan mereka tidak bersalah. Bahkan secara tegas mereka berbalik menuduk orang lainlah yang bersalah. Sebagaimana Allah kabarkan dalam surah al-Baqarah:11, “Dan bila dikatakan kepada mereka: "Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi". Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.
      Sama hal-nya sikap mereka dalam perang Uhud. Mereka tidak pernah merasa salah atau menyesali apa yang mereka lakukan. Bahkan lebih dari itu, mereka juga menyebarkan berbagai provokasi busuk di tengah masyarakat.

      ~          Kalam Allah (يَقُولُونَ بِأَفْوَاهِهِمْ), yang artinya, “Mereka mengatakan dengan mulut-mulut mereka”, mengapa memakai kata jamak yaitu: afwah (mulut-mulut)? Ini menunjukkan bahwa apa yang mereka omongkan itu banyak dan macam-macam. Dan mereka menyebarkan fitnah ke sana kemari. Mereka adalah provokator ulung.
     ~           Kalam Allah (وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يَكْتُمُونَyang artinya, “Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan”, menunjukkan bahwa, munculnya sifat kemunafikan itu karena merasa mampu menyembunyikan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang ada dihati. Pandangan semacam ini dibantah oleh Allah yang menegaskan, bahwa bagi Allah tidak ada sedikitpun yang tersembunyi, maka tidak pantas seseorang melakukan kemunafikan, karena semua itu akan dibongkar oleh Allah baik didunia maupun di akherat. Dalam ayat ini juga mempertegas landasan keimanan seorang mukmin agar selalu sadar bahwa Allah maha mengetahui segala-galanya. Maka jangan sampai mencoba menipu Allah seperti yang dilakukan oleh orang-orang munafik. Sebagaimana Allah sampaikan dalam surah Al-Baqarah ayat 9
يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ   
      Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu     dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar”.
Salah satu karakter orang munafik adalah selalu menolak nasehat kebenaran. Mereka menolak karena iri dan merasa mendapat persaingan. Mereka masih ingin “dianggap”, lalu terpaksa seakan-akan bersikap baik kepada orang yang dia anggap menyainginya, tetapi sebenarnya dia menyembunyikan kebencian. Hingga di suatu titik tertentu, apa yang mereka sembunyikan itu akan ditampakkan oleh Allah. Maka hendaknya kita berhati-hati. Seperti yang terjadi pada perang Uhud ini. Orang-orang yang dulunya ada di Madinah sebelum Islam datang, mereka memiliki pengaruh di kalangan orang Madinah. Ternyata setelah Rasulullah datang, pengaruh yang dulunya mereka miliki lambat laun menipis. Mereka menganggap Rasulullah telah menyaingi dan merebut kekuasaan dan pengaruh mereka hingga akhirnya mereka menampakkan diri sebagai orang beriman. Padahal sebenarnya mereka lebih memihak kepada kekafiran daripada kepada keimanan kepada Allah dan Rasulullah saw.
Orang itu baru diketahui bagaimana aslinya –apakah dia benar-benar sabar, tawakkal, cinta pada Allah dan Rasulullah atau hanya mengaku di bibir saja- bila dia sudah ditimpa berbagai ujian yang menyempitkan dirinya. Bila keadaannya longgar dan lapang, gampang saja dia bilang bahwa dia sabar sehingga tak banyak mengeluh. Tetapi bila diuji oleh Allah dengan sesuatu yang menyusahkan, barulah dapat diketahui apakah dia benar-benar sabar atau tidak.
Dalam surat al-Ankabut ayat 2-3 dijelaskan:
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ (2) وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ (3)
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.

)168) Apa yang dilakukan oleh orang munafik itu? Di dalam ayat ini diterangkan bahwa orang munafik itu menyebarkan propaganda-propaganda busuk untuk mengejek dan menjelek-jelekkan orang beriman dengan mengatakan, “Sekiranya mereka yang ikut perang itu mentaati kita dan ikut pendapat kita, mereka tentu tidak akan mati.
Mereka mengatakan seperti ini seakan merekalah yang mengatur takdir. Seakan kematian itu bisa diatur kapan dan di mana akan datang. Padahal kematian itu adalah sesuatu yang tak dapat ditebak kapan datangnya, meski itu orang yang sakit sangat parah sekali pun. Maka dari itu, Allah menyatakan kalau kalian benar dalam anggapan kalian bahwa kalian mampu untuk menghindar dari mati, maka coba saja. Larilah ke mana pun kalian mau lari. Tetapi kematian tetap akan menghampiri.
~          Kalam Allah (الَّذِينَ قَالُوا لِإِخْوَانِهِمْyang artinya “Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya”, menunjukkan pentingnya konsep “Al-mar`u ma’a diini kholiilihi” (sesorang itu tergantung pada apa yang dicintai oleh temannya). Orang itu akan senang bila berkumpul dengan orang yang punya kesamaan dengan dirinya. Orang yang memiliki kecenderungan untuk melakukan perbuatan baik, maka dia akan senang berkumpul dan bergabung dengan orang yang demikian. Begitu juga sebaliknya. Maka dari itu, kita harus pandai memilih teman. Pilihlah teman yang dapat mendekatkan diri kita kepada Allah, meningkatkan iman kita kepada-Nya. Semakin kita berkumpul dengan orang shalih, insya Allah kita juga akan menjadi semakin baik. Sebaliknya kalau teman dan kolega kita itu adalah orang-orang munafik, maka sedikit banyak kita akan terpengaruhi dengan prilaku mereka. Dan ini terbukti pada kejadian perang uhud, dimana orang-orang munafik selalu berusaha untuk mempengaruhi para kolega mereka.  Diantaranya dengan mengatakan, “Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh."
Kematian itu bisa datang dengan sebab yang bermacam-macam. Perang atau tidak perang bukan menjadi penentu hidup atau mati. Ikut perang berkali-kali seperti Khalid bin Walid juga tidak mati di dalam perang, bahkan dia meninggal di atas tempat tidurnya. Kematian bisa saja menghampiri seseorang walaupun dia bersembunyi di tempat paling aman sekali pun. Sebagaimana Allah jelaskan dalam surah An-Nisa ayat 78
أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكْكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ
 “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh
Oleh karena itu kematian hanya akan datang bila Allah Ta’ala menghendaki kedatangannya. Bila kita ingat hal yang demikian, hidup akan terasa nyaman. Sakit separah apapun, yakinlah bahwa kematian itu sudah ditentukan oleh Allah.
قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي ضَرًّا وَلَا نَفْعًا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ لِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ إِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ فَلَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ
Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukan(nya)” (QS.Yunus:49).
Menurut Ibnul Qayyim, salah satu hikmah dalam kisah perang Uhud ini adalah, bahwa orang-orang munafik membongkar kedoknya sendiri dan bagaimana Allah membantah tuduhan-tuduhan mereka, sehingga orang mukmin mengetahuinya secara gamlang tentang kebusukan mereka agar orang mukmin dapat lebih berhati-hati

            (171) Di ayat sebelumnya, dikatakan bahwa para syuhada yang meninggal dalam peperangan ingin memberikan kabar gembira kepada saudara seperjuangannya yang belum menyusul mereka bahwa tak ada yang perlu ditakutkan dan disedihkan setelah menjadi syahid. Maka di dalam ayat ini, Allah juga mengabarkan kepada kita bahwa mereka sendiri pun sangat berbahagia dengan kenikmatan dan karunia yang telah Allah limpahkan kepada mereka. Kenikmatan dan karunia Allah kepada mereka sangat banyak dan tak terbatas. Allah itu sama sekali tidak akan berbuat zhalim, dengan menyia-nyiakan pahala amalan hamba-hamba-Nya yang beriman. Tetapi Allah akan memberikan balasan yang berlipat-lipat.
            Di dalam ayat sebelumnya; yaitu di ayat 170  Allah memberitahukan kepada kita, bahwa syuhada ingin memberi kabar gembira dan merasakan kenikmatan bersama-sama dengan saudara mereka. Kemudian di ayat 171, disebutkan bahwa mereka sangat gembira dengan apa yang mereka dapatkan. Dari sini dapat diambil kesimpulan, bahwa akhlak para syuhada itu sungguh sangat mulia. Kemuliaan akhlak mereka saat mereka masih hidup terbawa sampai ketika mereka sudah meninggal. Salah satu akhlak tersebut adalah itsar (mendahulukan saudaranya dari pada dirinya sendiri). Mereka memikirkan saudara mereka bagaimana supaya saudara mereka mendapatkan seperti apa yang mereka dapatkan. Barulah di ayat 171 ini mereka menyebutkan tentang kegembiraan mereka sendiri.
            Itsar atau sikap mementingkan orang lain hanya terbatas dalam hal mu’amalah (interaksi sosial) saja. Adapun dalam ibadah,itsar adalah sesuatu yang makruh. Sebagaimana dalam kaidah ushul fikih disebutkan (Ghamzu ‘Uyunil Bashar, jz. 2, hlm. 259):
الْإِيثَارُ فِي الْقُرَبِ مَكْرُوهٌ ، وَفِي غَيْرِهَا مَحْبُوبٌ              
Al-Itsar dalam hal ubudiyyah itu hukumnya makruh, sedangkan untuk selainnya hukumnya disukai. Atau kaidah yang berbunyi “al-itsar fil ibadati makruh wa fi ghairiha mustahab”.
Misal contoh itsar yang diperbolehkan adalah ketika dalam kendaaraan umum ada orang yang lebih tua atau wanita hamil yang tidak dapat tempat duduk, maka kita berikan tempat duduk kita kepada orang tersebut, padahal kita juga sangat membutuhkannya. Adapun contoh itsar yang tidak diperbolehkan adalah mempersilakan seseorang untuk menempati shaf pertama sedang dia memilih shaf yang kedua. Padahal shaf yang pertama lebih utama dari shaf yang kedua.
            بِنِعْمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَفَضْلٍ  artinya dengan kenikmatan dan karunia dari Allah. Ni’mah adalah segala bentuk pemberian yang ada manfaatnya. Sedangkan fadhl adalah tambahan atas keni`matan yang telah diterima. Kata ni`mah dan fadhl dalam ayat ini berbentuk bentuk nakiroh (umum). Hal ini menunjukkan bahwa kenikmatan dan karunia Allah yang diberikan kepada para syuhada` itu tiada batasnya dan banyak sekali tiada taranya.
    وَأَنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُؤْمِنِينَ  ayat ini menegaskan banwa orang yang mampu menahan hawa nafsunya, selalu mengedepankan kepentingan Allah dan Rasul-nya, maka ketahuilah bahwasanya Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala amal perbuatannya. Tetapi Allah akan memberikan balasan dengan berbagai keni`matan dan karunia-Nya yang lebih besar dari apa yang seharusnya ia terima.
  Oleh karena itu orang beriman itu selalu percaya pada Allah. Selalu yakin bahwa segala sesuatu itu ada balasannya disisi Allah. Maka ia akan selalu merasa nyaman degan cara pengendalian hawa nafsunya sendiri. Dalam sebuah ungkapan salaf dikatakan “Ra`su kulli khair alkhoufu wal haya`.  Pondasi utama untuk menjadi orang baik ada dua yaitu; takut pada Allah dan malu dilihatAllah. Orang yang tak punya malu itu sama seperti hewan.


           
(172)  Siapakah orang-orang beriman itu? Mereka adalah orang-orang yang mentaati Allah dan Rasul-Nya dalam segala kondisi dan di mana pun mereka berada. Duka lara atau suka cita yang menimpa mereka, mereka tetap setia mentaati Allah dan Rasul-Nya. Mereka selalu mendahulukan perintah Allah dan Rasul-Nya dari pada keinginan pribadi, walapun dalam kondisi yang sangat sulit. Mereka yang berkepribadian semacam itu adalah orang-orang yang berbuat baik dengan menjalankan apa yang penjadi perintah Allah dan rasul-Nya dan meraka adalah termasuk orang bertakwa kepada Allah. Orang-orang seperti ini-lah yang akan diberi pahala yang besar oleh Allah.
           
  Ayat ini turun sebagai pujian kepada orang-orang beriman yang masih tetap mau mentaati Allah dan Rasul-Nya (dalam hal ini mereka mentaati ajakan Rasul untuk pergi ke Hamra`ul Asad) meskipun mereka dalam keadaan menderita lahir dan batin. Menderita lahir karena banyak luka di tubuh mereka. Menderita batin karena kekalahan, kesedihan yang disebabkan oleh terbunuhnya banyak muslimin seperti paman Rasulullah Hamzah.      
Sebab turun ayat ini, sebagaimana diterangkan al-Thabari dan lainnya, bahwa saat Abu Sufyan dan teman-temannya memenangkan Perang Uhud dan kembali ke Mekkah tanpa menghabisi orang-orang beriman. Sesampainya mereka di daerah “Rauha`”, mereka menyesal mengapa membiarkan Rasulullah dan para sahabat begitu saja, tanpa menawan mereka atau menghabiskan mereka sampai pada akar-akarnya. Setelah itu, orang-orang kafir ingin kembali ke medan perang untuk melaksanakan niat tersebut. Kabar bahwa orang kafir ingin menghabisi orang beriman sampai kepada Rasulullah. Maka Rasulullah bersama para sahabat berangkat untuk memberikan rasa takut dan menunjukkan kepada lawan bahwa mukminin itu kuat. Ketika itu Rasulullah berkata, “Aku ingin menghadapi orang-orang kafir. Tidak ada yang boleh ikut aku kecuali orang-orang yang ikut perang bersama Rasulullah waktu itu (perang Uhud)”. Akhirnya Rasul dan para sahabat menuju ke sebuah tempat yang bernama Hamra`ul asad. Tempat itu terletak di 3 mil dari Madinah. Di tempat itu, orang-orang kafir malah ketakutan dan mengurungkan diri dari peperangan, lalu mereka pulang. (Tafsir al-Thabari: 7/399).
Orang yang berkata bahwa dirinya beriman, dia harus membuktikan keimanannya itu. Banyak pengorbanan yang harus dilakukan untuk membuktikannya. Iman tak cukup hanya di mulut saja. Atau di ahti saja. Dia harus di ikrarkan dalam hati, diucapkan dengan lisan, dibuktikan lewat amalan.
Ketaatan orang mukmin kepada Allah itu sempurna dan penuh keyakinan, bukan ‘ala harfin (keraguan). Apapun yang terjadi mereka tetap istiqamah meletakkan Allah dalam hatinya. Bila dia diuji, dia akan menganggap ujian itu tak ada apa-apanya dibanding ujian yang menimpa Rasul dan para sahabat, sehingga mereka bisa bersabar atas apapun yang menimpa mereka.
 Salah satu karakter orang beriman adalah gampang menerima nasehat. Gampang taat dan tunduk bila diingatkan dengan ayat Allah. Begitu ayat Allah turun, dia langsung mengamalkan. Karakter semacam inilah yang di contohkan oleh para sahabat. Walupun mereka masih dalam kondisi lemah, bahkan masih dalam kondisi berkabung, mereka tetap setia menjalankan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah. Padahal perintah ini mungkin tidak lebih ringan dari apa yang telah mereka rasakan dalam perang Uhud.
       لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا مِنْهُمْ وَاتَّقَوْا أَجْرٌ عَظِيمٌ   huruf min dalam kata  مِنْهُمْ   di sini bukan min lit tab’idh atau min yang menunjukkan sebagian. Tetapi min di sini adalah min lil bayan. Yang berarti tetap dari kalangan orang beriman semuanya. Maka makna dari potongan ayat ini adalah bagi semua orang yang berbuat baik dan bertakwa ada pahala yang besar. Adapun salah satu faidah dari menggunaan مِنْهُمْ  -wallahu `alam- adalah untuk menunjukan kecilnya jumlah orang yang mempunyai karakter seperti para sahabat. Tidak semua orang yang mengaku beriman, mampu membuktikan keimanannya tersebut dengan amal baik dan ketaqwaan, terutama dalam kondisi susah. Seperti yang dialami para sahabat ketika itu.
Masih ada satu hal yang diingatkan oleh Allah, yaitu: takwa. Hampir seluruh ibadah dan perintah Allah itu ujung-ujung yang ingin dicapai adalah ketakwaan. Karena takwa adalah jima’u kullu khair yaitu yang mengumpulkan segala kebaikan. Misalnya malu karena Allah adalah takwa. Belajar ilmu karena Allah adalah takwa.
Apabila seseorang telah mampu mencapai dan mengistiqamahkan ketaqwaan, maka berbagai keistimewaan Allah akan berikan kepadanya. Baik didunia dan akherat. Di dunia diantaranya, Allah akan memberikan solusi terhadap problem dan diluaskan rizkinya (Ath-Thalaq: 2-3), kemudahan dalam urusan hidupnya (Ath-Thalaq:4), dicurahkan berbagai keberkahan dari langit (al-`Araf:96), disayang Allah, malaikat dan alam semuanya (Ali Imran:76), dijaga dari kajahatan musuh (Ali Imran:120). Adapun diakherat diantaranya, taqwa menjadi syarat terkabulnya amal (al-Maidah:27), pelebur dosa dan pelipat pahala (Ath-Thalaq:5), tidak hanya menjadi pewaris surga, mereka para muttaqin menjadi penghuni VIP di surga (Maryam:85 dan Az-Zumar:73)
    أَجْرٌعَظِيمٌ   pahala yang besar. Sebagaimana ni’mah dan fadhl yang nakiroh yang berarti tanpa ada batas, maka ajrun ‘azhim ini juga begitu. Umum yang berarti banyak dan tanpa batas. Dengan kata lain, Allah akan melipatgandakan pahala dan tidak akan mengurangi pahala amalan kita. Baik di dunia maupun di akhirat. Kecuali kerena perbuatan kita sendiri, misalkan dengan riya`, ujub dan ingin mendapatkan pujian dari orang lain. Semua ini tentu akan menyia-nyiakan amal kebaikan kita.


(173) Pada ayat ini dan sebelumnya, Allah memberikan pujian kepada orang mukmin karena mereka mampu bertahan dan istiqamah dalam mentaati Rasulullah. Bagaimana pun keadaan mereka, mereka tetap berada dalam satu kondisi yaitu sam’an wa tha’atan (mendengar dan mentaati) kepada Rasulullah saw. Pada ayat ini ditegaskan bahwa orang-orang beriman ditakut-takuti dengan jumlah pasukan musuh yang banyak dan bersenjata lengkap. Tetapi mereka tidak peduli itu. Mereka tetap taat kepada Rasul. Beliau memerintah keluar, mereka juga akan tetap keluar, apapun resikonya. Saat mereka ditakut-takuti itu, mereka bukannya malah jadi pengecut. Tapi mereka tambah beriman kepada Allah dan semakin yakin bahwa Allah lah yang mengatur segalanya. Allah-lah yang akan menolong mereka. bentuk kepasrahan mereka salah satunya adalah dengan mereka mengatakan: حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ   yaitu cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami. Dan Dialah sebaik-baik pelindung.
              Sebab turun ayat ini sebagaimana dijelaskan para ahli tafsir, ringkasnya adalah bahwa Abu Sufyan ingin kembali memerangi umat Islam. Dia merasa tidak puas karena tidak sempat menghabisi kaum muslimin di perang Uhud. Maka dari itu, dia berkata kepada Nabi Muhammad saw.: kita perang lagi suatu saat nanti di badr ash-shughra. Lalu, lewat umar, Rasulullah menjawab: Baik, insyaAllah. Tatkala sudah tiba waktunya perang, yaitu pada bulan Sya’ban tahun ke 4 (berjarak satu tahun dari perang Uhud, karena perang Uhud terjadi pada bulan Syawwal tahun ke 3), Abu Sufyan berangkat bersama kaumnya dan sudah sampai di marrizh zhahran (nama tempat). Saat itulah Allah memberikan rasa takut di hati Abu Sufyan. Maka dari itu, dia ingin pulang saja. Di tengah jalan ketemu Nu’aim bin Mas’ud yang datang ke Makkah untuk berumroh. Abu Sufyan berkata: “Aku sudah berjanji dengan Muhammad untuk perang. Ternyata sekarang ini paceklik. Aku ingin pulang saja. Tapi, kalau Muhammad berangkat dan aku tidak, maka hal itu akan menambah Muhammad jadi besar kepala. Maka dari itu, kamu pergilah ke Madinah. Kendori semangat mereka supaya mereka tidak jadi pergi ke Badr Ash-Shughra. Sebagai imbalannya, aku akan memberimu 10 unta. Nu’aim sepakat lalu dia pergi ke madinah. Saat muslimun siap-siap, dia berkata: “Dulu di perang uhud udah banyak dari kalian yang terbunuh, kalau kalian keluar lagi dan perang lagi, nggak akan ada yang kembali. Mati semua kalian nanti.”Perkataan Nu’aim ini mempengaruhi sebagian mukminin. Rasul tahu tentang itu lalu bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku ini di tangan-Nya, sungguh aku akan keluar menghadapi mereka meskipun aku sendirian”. Lalu Nabi saw. keluar bersama sekitar 70 orang. Ibnu mas’ud ada di sana. Mereka pergi dan akhirnya sampai ke Badr Ash-Shughra. Tetapi Rasul dan para sahabat tidak bertemu dengan seorang pun dari kalangan musyrikin. Di Badr Ash-Shughra pada saat itu lagi ada pasar musiman. Lalu mukminin menggunakan waktu itu untuk jual beli. Mereka untung meski sedirham dua dirham. Setelah itu mereka pulang keMadinah dalam keadaan selamat. Abu Sufyan juga lantas pulang ke Mekkah.
Ulama berbeda pendapat dalam menentukan siapa النَّاسُ  (manusia) yang pertama di ayat ini. Ada yang mengatakan: 1-Nu’aim bin Mas’ud Al-Asyja’i yang mengendor-ngendori semangat orang beriman tetapi tidak berhasil. Mengapa memakai lafal an-nas padahal yang dimaksud adalah satu orang saja yaitu Nu’aim bin Mas’ud Al-Asyja’i? Karena dia menjadi wakil dari sekian banyak orang-orang kafir yang dipimpin oleh Abu Sufyan. 2-Rombongan Nu’aim dari kalangan Bani Abdil Qais. Siapapun dia, jelas orang tersebut mempunyai kridibilitas yang tinggi untuk melancarkan perang opini terhadap orang Islam.
 Yang dimaksud dengan النَّاسُ  (manusia) yang kedua di ayat ini adalah Abu Sufyan dan bala tentaranya.
Salah satu ciri orang beriman adalah tidak merasa takut sedikit pun terhadap orang-orang kafir. Meskipun keadaan mereka sangat didesak dan ditakut-takuti oleh orang kafir, mereka tetap iman kepada Allah dan Rasulullah saw. Semakin mereka ditekan, mereka akan semakin yakin bahwa Allah bersama mereka dan akan selalu menolong mereka.
  Dalam ayat ini, Allah memperjelas tentang bagaimana bentuk kepasrahan orang-orang beriman. Mereka berdoa: حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ {Cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami. Dan Dialah sebaik-baik pelindung}. Mereka benar-benar sadar bahwa Allah lah satu-satunya yang bisa menolong. Sehingga tak ada alasan untuk tidak pasrah pada-Nya.
Kalimat حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ   menunjukkan bahwa Allah ingin membangun prinsip orang mukmin yaitu mereka harus menyakini bahwa Allah itu di atas segalanya. Maka di ayat lain disebutkan; ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihil mashir. Maka dari itu, kita harus senantiasa mengikatkan diri kepada Allah. Kalau sudah mengikatkan diri kepada Allah, maka tak akan mungkin kita minder. Pasti akan semangat dalam bekerja dan beramal shalih.
 قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ  (mereka telah mengumpulkan untuk kalian). Di sini tidak disebutkan mengumpulkan apa. Tujuan orang kafir adalah supaya orang-orang mukmin mencapai batas maksimal khayalan mereka tentang jumlah musuh dan persenjataannya yang lengkap. Bila orang-orang mukmin sudah membayangkan akan banyak sekali musuh yang datang, maka mereka menyangka itu akan menyurutkan semangat orang mukmin. 
Orang itu kalau benar-benar beriman kepada Allah, bila dia diuji oleh-Nya, dia akan semakin beriman kepada-Nya. Tak akan putus asa. Tak akan berkecil hati. Akan terus semangat dan berpikir positif. Selalu husnudzon pada Allah karena tahu bahwa Allah itu ada pada persangkaan hamba-Nya. Bila dia bekerja, dia selalu berusaha untuk mengikhlaskan niat, profesional (kerjanya bagus dan dapat diandalkan), punya disiplin yang tinggi, optimis dan tidak mudah berhenti sehebat apapun ujian yang menderanya.
           

            (174) Ayat ini menerangkan tentang hikmah kepasrahan mereka kepada Allah Mereka dapat kembali ke Madinah dalam keadaan selamat, mendapatkan kenikmatan dan karunia yang tiada taranya. Tanpa luka-luka sedikit pun karena musuh sudah menyerah sebelum perang terjadi. Bahkan mereka bisa sekalian berdagang dan mendapatkan untung. Dengan demikian, Allah menegaskan bahwa mereka yang ikut bersama Rasulullah saw untuk perang melawan Abu Sufyan dan bala tentaranya adalah orang-orang yang benar-benar mengikuti apa yang diperintahkan oleh Rasulullah. Mereka benar-benar setia dan selalu mentaati beliau. Orang-orang seperti ini tak akan pernah rugi. Mereka mendapatkan sesuatu yang tidak didapatkan oleh orang-orang yang tidak ikut bersama Rasul untuk memerangi Abu Sufyan. Terlebih lagi, ternyata mereka tidak jadi perang, tidak ada yang luka, pulang dalam keadaan selamat dan dapat keuntungan dari perdagangan di pasar tahunan Badr Shughra. Ini adalah kenikmatan yang tiada taranya. Apalagi pujian Allah kepada mereka itu akan terus dikenang dan dibaca sampai hari kiamat.
            فَانْقَلَبُوا  orang-orang mukmin kembali ke Madinah dalam keadaan senang. Mereka tidak jadi perang karena musuh tak datang. Tapi bukan berarti mereka kembali dalam keadaan tangan hampa atau tangan kosong. Bahkan mereka mendapatkan kenikmatan dari Allah berupa kemenangan, untung dalam perdagangan, pujian dari Allah dan masih banyak lagi.
            مِنَ اللَّهِ وَفَضْلٍ   sejatinya, kemuliaan dan ketinggian derajat itu hanya dari Allah saja. Jangan sampai salah paham. Kemuliaan yang dimiliki oleh mukminin dan kafirin itu berbeda. Kalaupun di dunia ini kelihatannya enak tapi keadaan itu akan terus berlanjut. Sering kita ini tertipu oleh realita yang ada. Sering merasa Allah tidak adil memberi rizki pada kita. Kita merasa telah rajin ibadah tapi tidak lebih kaya dari orang kafir. Kita perlu tahu, bahwa dalam Islam itu ada sebuah konsep yang bernama istidraj. Mereka dibiarkan semakin menikmati dunia ini. Merasa dengan kenikmatan yang mereka dapatkan karena mereka telah menjalankan kebenaran. Maka, bila telah tahu semua ini, pantaskah kita su`uzhan pada Allah yang mungkin belum memberi kita kekayaan sebanyak orang kafir? Pantaskah kita minder dan merasa mereka lebih mendapatkan kenikmatan? Bila iman masih ada dalam hati, tentu jawabannya adalah tidak.
             وَاتَّبَعُوا رِضْوَانَ اللَّهِ  mereka telah mengikuti keridhaan Allah. Wujudnya adalah dengan mengikuti perintah Rasul. Oleh karena itu, ayat ini ditutup dengan وَاللَّهُ ذُو فَضْلٍ عَظِيمٍ . Ini adalah bentuk penghargaan Allah terhadap orang mukmin yang setia kepada Rasul. Hal ini juga mengakibatkan kekecewaan orang yang tidak ikut perang uhud. Karena tentu mereka tak dapat keutamaan yang diberikan kepada yang ikut perang.
             Bila kita benar-benar memahami, maka kita seharusnya sadar bahwa kebahagiaan bagi kita adalah keridhaan Allah saja. Segala sesuatu, senikmat dan sebanyak apapun, bila Allah tidak ridha, itu bukan kebahagiaan. Tetapi sedikit apapun yang kita punya, asal allah ridha, itulah kebahagiaan yang hakiki. Sebab keridhaan Allah-lah yang akan mengantar kita pada jannah yang kenikmatannya abadi. Dan kemurkaan Allah-lah yang akan mengantar kita pada neraka yang kepedihannya abadi.
            Bila hati sudah buta, dia akan merasa kurang terus dengan kenikmatan yang telah Allah beri. Semakin tahu ada yang lebih dari apa yang dia miliki, dia semakin berambisi untuk mendapatkannya. Itu karena hatinya sudah buta. Mereka tidak memperdulikan lagi kebarokahan harta benda. Padahal kebarokahan itulah yang paling pentingkarena kebarokahan itu mempengaruhi bertambahnya kebaikan. Sekarangkebarokahan sulit dicari. Manusia lebih mengejar kuantitas (jumlah yang banyak) dan tidak peduli lagi dengan kualitas.


            (175) Di ayat sebelumnya telah disebutkan bahwa orang-orang munafik dan orang-orang kafir mengendor-ngendorkan semangat orang-orang beriman ketika hendak menuju perang untuk memenuhi janji.
Maka di ayat ini, Allah memberitahukan kepada kita bahwa perang saraf dan opini yang dilakukan oleh orang-orang munafik dan orang-orang kafir untuk meredam semangat orang beriman, semua itu bersumber dari bisikan setan. Setan lah yang mengomandani perbuatan mereka.
Oleh karena itu seorang mukmin tidak boleh takut kepada selain Allah.Tidak boleh takut kepada setan dan balatentaranya yaitu orang-orang kafir, munafik dan musyrik yang selalu menakut-nakuti orang mukmin dalam memperjuangkan agamanya.
             Kalimat يُخَوِّفُ أَوْلِيَاءَهُ , yang berarti dia (setan) menakut-nakuti teman-teman setianya, memiliki 3 penafsiran yang intinya sama, yaitu: setan dan bala tentaranya dari kalangan manusia –orang-orang kafir-, menakut-nakuti orang-orang yang ingin berjuang di jalan Allah. Mereka mengendori dan meredam semangat juang orang beriman.
Hal semacam ini masih saja berlangsung sampai sekarang. Hanya saja mungkin caranya berbeda. Kita lihat sekarang, orang-orang kafir itu berusaha membuat orang-orang Islam takut menjalankan agamanya sendiri secara kaffah(menyeluruh). Mereka membuat orang-orang Islam enggan mempelajari dan mengenal agama mereka sendiri dengan lebih mendalam. Caranya adalah dengan merusak Islam di mata publik. Mereka mengatakan Islam adalah agama teroris, orang memakai jubah dan cadar lalu sengaja bertindak kriminal supaya merusak kebersihan hijab, dll. Ini adalah tipu daya setan. Barang siapa yang mengaku beriman, hendaknya dia tidak takut terhadap makar atau tipu daya mereka. Hendaknya hal-hal tersebut tidak membuatnya semakin meninggalkan agamanya. Sebaliknya, fenomena semacam itu menjadi cambuk yang memperkuat semangat untuk membela dan menunjukkan esensi Islam yang sesungguhnya. Bahwa Islam adalah agama yang benar dan indah. Bahwa hanya dengan syari’at Allah-lah manusia akan hidup dengan damai dan tentram.
            Di ayat ini disebutkan: فَلَا تَخَافُوهُمْ . Dhamir hum kembali kepada setan dan teman-teman setianya. Allah melarang kita takut kepada mereka. Dan memberi solusinya yaitu وَخَافُونِ –dan takut lah  kepadaKu-, kita diperintah untuk takut hanya kepada Allah saja. Kalau sudah tahu seperti ini, sebagai orang yang beriman, hendaknya kita tak pernah merasa rendah di hadapan orang-orang kafir. Sekuat apapun mereka,sekaya apapun mereka, secanggih apapun peralatan merakasemua itu tidak boleh menyebabkan kita merasa kecil hati atau minder. Bila ada dalam hati kita perasaan takut, minder, kecil hati di hadapan orang-orang kafir, maka iman dalam hati kita perlu dipertanyakan lagi. Ayat ini ditutup dengan:  إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ . Kalau benar-benar beriman, maka kita tak  akan takut kepada orang-orang kafir.Tidak takut untuk terus memeperjuangkan agama Allah, walupun harus menghadapi berbagai tuduhan miring, dikecam, dihina, diancam bahkan dibunuh.


            (176) Ayat ini turun sebagai pelipur lara bagi perasaan Rasulullah. Bagaimanapun, Rasulullah tetap manusia bisa sedih bisa gembira. Kedurhakaan orang-orang kafir sedikit banyak mempengaruhi perasaan Rasulullah.
Dalam ayat ini Allah melarang Rasulullah bersedih. Allah menghibur beliau bahwa kebahagiaan mereka di dalam kekafiran itu tidak akan merugikan Allah sama sekali. Tak akan pernah menyakiti Allah sedikitpun.
            Ayat ini menunjukkan betapa bencinya orang-orang kafir kepada Rasulullah dan Islam. Dan betapa mereka bahagia dengan kekafirannya. Hal ini dapat disimpulkan dari يُسَارِعُونَ فِي الْكُفْرِ   yang artinya mereka bersegera dalam kekafiran. Orang yang senang dan bahagia terhadap sesuatu, maka dia pasti akan bersegera untuk menuju ke sana.
                Ayat ini turun untuk menghibur Rasul dan melarang agar Rasul dan umat beliau jangan sampai sedih kalau ada di antara orang kafir itu yang bersegera, bercepat-cepat melaksanakan gerakan kekufuran mereka. Tetapi bukan berarti bila melihat kondisi umat yang tidak mau taat, kita boleh berleha-leha dan senang dengan keadaan itu. Yang dimaksud sedih di sini adalah jangan sampai jangan sampai kita lemah dan punya prasangka yang tidak benar. Seakan-akan musuh-musuh Islam itu sangat kuat dan kita tak yakin kita bisa mngalahkan mereka. bersedih boleh melihat kondisi umat yang begini tapi kalau sampai merasa bahwa mereka bisa segalanya dan kita lemah, itu salah. Jangan sampai kita ini punya perasan seperi itu.
             Kenapa tidak boleh sedih dengan bersegeranya mereka melaksanakan gerakan kekufuran mereka? Karena kekufuran, kemunafikan dan kemusyrikan mereka itu tak akan memadhoroti Allah sedikitpun. Tidak akan bermanfaat apa-apa bila Allah tidak menghendaki. Allah itu maha segalanya. Bila Allah tak ingin kita celaka karena orang kafir, maka kita tak akan mungkin celaka karena mereka. maka dari itu, sangatlah pantas kita memohon kepada Allah agar Allah selalu melindungi kita dari setan dan bala tentaranya.
             Bila kita mengamati kejadian sekarang ini. Banyak di antara kaum muslimin yang tidak lebih kaya dari orang kafir. Bahkan mereka cenderung sukses bekerja, belajar, dll. Mereka terlihat lebih unggul dari muslimin. Apakah itu tanda kasih sayang Allah? Jangan pernah salah!!! Mereka itu bukannya di sayang oleh Allah. Malah justru dilulu. Kasih sayang Allah itu bukan ditunjukkan dengan banyaknya materi yang kita miliki.
Tetapi kasih sayang Allah yang hakiki itu dengan pemberian iman dan takwa. Karena hanya dua hal itu yang akan menyelamatkan pemiliknya dari adzab yang abadi. Allah memberikan materi kepada siapapun di dunia ini. Baik mukmin maupun kafir. Dalam ayat ini disebutkan bahwa: يُرِيدُ اللَّهُ أَلَّا يَجْعَلَ لَهُمْ حَظًّا فِي الْآَخِرَةِ   Allah ingin mereka besok di akhirat itu tak punya lagi bagian yang baik karena mereka sudah memuas-muaskan diri mereka di dunia. Maka dari itu, ktia jangan sampai minder kepada orang kafir. Tetapi jangan pula dengan hal ini lantas menyebabkan kita tidak bekerja dan beranggapan bahwa miskin tidak apa-apa tanpa berusaha. Semuanya harus pada tempatnya.
            حَظًّا   di sini berarti bagian. Berbeda dengan nashiibun. Kata hazhzhan, biasanya untuk sesuatu yang baik dan positif. Adapaun kata nashiibun bisa untuk yang baik bisa untuk yang buruk.


            (177) Orang-orang kafir dan munafik itu menjual sesuatu yang berharga berupa keimanan dengan sesuatu yang tidak berharga yaitu kekufuran. Hal ini karena sudah jelas bagi mereka dalil-dalil kebenaran Al-Quran, dalil-dalil kebenaran Rasulullah saw, dan dalil-dalil kebenaran agama Islam. Tetapi mereka malah menjual itu semua dengan menukar dan mengambil kekufuran. Mereka beranggapan  bahwa apa yang mereka lakukan itu, mampu memberi efek negatif kepada agama Islam dan pemeluknya.  Namun apa yang terjadi tidak lah seperti apa yang mereka pikirkan. Agama Allah, rasul Allah, dan para pejuang Allah tidak akan terkena efek negatif sedikitpun dari apa yang mereka lakukan. Dan bagi orang-orang kafir nantinya akan mendapatkan siksa yang menyakitkan.
             Kata (اشْتَرَوُا). Makna asalnya adalah jual-beli. Ketika membeli sesuatu, berarti ada yang dibeli, dan ada penggantinya (yang digunakan untuk membeli). Dalam ayat ini dikatakan bahwa orang-orang kafir itu membeli kekufuran dengan menjadikan iman sebagai alat pembayarannya. Dalam bahasa Arab ini disebut dengan isti’arah tamtsiliyah, yaitu majaz yang digunakan untuk menggambarkan suatu kejadian karena adanya sisi kesamaan.
              Kata-kata لَنْ يَضُرُّوا اللَّهَ شَيْئًا  ini tentunya tidak langsung kepada Allah, karena sudah pasti bahwa Allah itu tidak termadharati dengan sesuatu apa pun. Maka yang dimaksud di sini adalah agama Allah, utusan Allah, dan para pejuang agama Allah. Mereka itu tidak akan terkena efek negatif dari apa yang dilakukan orang-orang kafir. Bagi orang mukmin sejati, yang demikian itu akan menambah keimanan dan memicu semangat untuk terus berjuang menegakakan panji-panji tauhid dimuka bumi ini.
            Logika yang diisyaratkan dalam ayat ini adalah memakai logika mereka sendiri (orang kafir). Dimana mereka adalah “para pecinta dunia”, dan pecinta dunia itu akan selalu menjadikan materi sebagai standar segala sesuatu. Pola pikir semacam ini seharusnya mampu menyadarkan. Dimana logika bisnis, jika membeli sesuatu mesti sesuatu yang bermutu dan berkualitas.Tetapi mereka justru sebaliknya. Karena kebodohan dan kedengkian mereka, bukannya mereka membeli sesuatu yang berkualitas, tetapi justru memilih yang tidak berkualitas (kekufuran). Ini sangat tidak masuk akal, namun demikianlah yang terjadi. Maka bukannya keuntungan yang mereka dapatkan dari apa yang mereka bisniskan, melainkan siksaan yang amat pedih. Bahkan apa yang mereka perkirakan punya efek negatif, (karena tujuan mereka untuk memberi pengaruh negatif kepada orang Islam sehingga orang Islam takut dan jauh dengan agama, semakin tidak yakin dengan kepercayaannya), itupun ternyata tidak terjadi. Karena apa yang mereka lakukan itu, justru malah semakin memperkuat keimanan orang-orang mukmin untuk memperjuangkan agamanya.
            وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ  Di sini jar majrur didahulukan, dimana susunan asal dalam tata bahasa arab adalah لَهُمْعَذَابٌ أَلِيمٌ  dengan susunan mubtada` khabar. Tapi disini khabarnya didahulukan, tujuannya, lil istihqoq, artinya mereka itu memang berhak mendapatkan siksa yang pedih, mereka tidak bisa lagi menghindar. Selain itu penggunaanعَذَابٌ أَلِيمٌ, dengan nakiroh, tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa azab yang akan mereka terima itu sungguh tidak terbanyangkan kepedihannya sama sekali.


            (178) Janganlah orang-orang kafir itu menyangka bahwa Allah memberi tangguh atau tempo kepada mereka, Allah membiarkan mereka hidup tenang, nyaman, enak, dsb. Itu semua merupakan kebaikan bagi mereka. Tidak. Allah memberikan semuanya itu sebagai istidraj supaya bertambah dosa mereka kemudian mereka akan merasakan adzab yang menghinakan.
             Kita harus memahami bahwa Allah membiarkan orang kafir hidup nyaman itu supaya bertambah banyak dosa mereka. Dengan banyaknya dosa yang mereka lakukan, balasan siksaan yang setimpal akan mereka peroleh. Oleh karenanya orang mukmin jangan tergiur dengan kehidupan mereka. Orang sering berpikir, “kenapa orang-orang kafir hidupnya nyaman, padahal tidak pernah shalat, tidak pernah ke pengajian. Sedangkan kita yang ngaji, shalat, dll kok seret rizqinya”. Pemikiran seperti ini harus kita hilangkan, karena ibadah itu tidak ada kaitannya dengan kaya atau miskin. Melainkan ibadah adalah sebuah kewajiban sebagai hamba Allah (Adz-dzariyat:56). Kalau ingin kaya, ya harus bekerja dengan benar.
            Dalam pandangan Islam “ad-dunya sijnul mukmin” (dunia adalah penjara bagi orang mukmin) dunia ini bukan tempat kita berpesta pora, bersenang-senang, tapi banyak aturan.  Bahkan dalam kondisi kita senang pun juga ada aturannya , misal ketika nikah, berhariraya, dsb,. Prinsip orang beriman berbeda dengan orang kafir. Meskipun sudah dinyatakan oleh Rasulullah bahwa dunia ini khadhiratunhulwatun (menawan dan nikmat) (HR.Muslim), tapi kita diperlihatkan kehidupan lain, yakni kehidupan akherat yang kekal abadi. Adapun orang kafir melihat dunia ini adalah segala-galanya. Maka Orientasi orang kafir adalah dunia, sampai-sampai mereka berusaha semaksimal mungkin bagaimana agar tetap hidup, tetap muda. Tetapi, walau bagaimana pun usaha mereka ini tidak akan pernah berhasil, karena Rasul sudah menyatakan “dua yang tidak ada obatnya, yaitu pikun dan kematian”.
            Dalam ayat ini Allah menggunakan “adzabun muhin” (siksaan yang menghinakan). Pada umumnya persepsi orang itu dunia ini mengangkat derajat. Misalnya orang pakai dasi, necis, walau korupsi tetap dihormati. Maka Allah mempertegas bahwa dunia yg mereka anggap mampu menjadikan orang bahagia, mulia, itu cuma sebatas di dunia, tapi nanti akan dihinakan dengan sehina-hinanya di akherat.


            (179) Allah mempertegas bahwa perjalanan hidup, cobaan hidup, termasuk apa yang terjadi pada perang Uhud adalah untuk membentuk sebuah tangga kehidupan, untuk membedakan mana orang yang baik dan yang buruk, mana orang yang imannya benar-benar mukhlish. Dan Allah tidak memperlihatkan barang yang ghaib kepada sembarang orang, tetapi Allah memilih orang yang Dia kehendaki dari kalangan rasul-Nya. Artinya tidak semua keghaiban itu diberikan dan tidak semua rasul diberi keghaiban. Keghaiban itu hanya milik Allah dan Allah hanya memberikan kepada orang yang Dia kehendaki. Hal yang ghaib itu tidak bisa diketahui kecuali lewat wahyu yang bersumber dari Allah. Oleh karena itu berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan kalian akan mendapatkan pahala yang besar.
             Allah memberikan ujian kepada manusia ini dengan tujuan untuk memunculkan orang-orang yang benar-benar ikhlash. Ulama menyatakan, “Setiap orang itu celaka kecuali orang ynag berilmu, dan tiap orang yang berilmu itu celaka kecuali orang yang beramal, sedangkan setiap yang beramal itu celaka kecuali orang yang ikhlash”.
             Dalam ayat ini Allah menggunakan bahasa simbol “khabits (untuk orang kafir/munafiq) dan thayyib (untuk orang beriman)”. Ini menunjukkan bahwa orang beriman itu thayyib, bagus, lahir maupun batinnya. Dalam Shahih Bukhari disebutkan bahwa permisalan orang beriman yang membaca Al-Qur`an itu seperti buah utrujah (sebangsa buah apel), bau dan rasanya enak.Orang mukmin itu bagus, baik secara fisik maupun mental. Orang Islam tidak identik dengan compang-camping, seperti yang disalahpahami oleh sebagian orang sufi dengan alasan zuhud. Oleh karena itu, Jangan memahami Islam secara parsial, karena akan menyebabkan salah paham atau salah penafsiran dalam agama ini. Seperti orang buta memegang gajah, hanya kakinya, lalu dia mengatakan bahwa gajah itu seperti bambu.
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Studi Naskah Tafsir_As-Sya`rawi_ An Nisa` 1-3_Poligami

Tafsir As-Sya`rawi An-Nisa 1-3 (Poligami) Disusun Oleh : Muhammad Fadhlan Syaifudin , Muhammad Muthiurridlo , Ikrom Najibuddin Fakultas...