Minggu, 08 Oktober 2017

ANALISA BUKU NEGARA PARIPURNA BAB KEADILAN SOSIAL


ANALISA BUKU NEGARA PARIPURNA
BAB KEADILAN SOSIAL

oleh:
Muhammad Fadhlan Syaifudin
NIM: 151410507
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QUR’AN
JAKARTA
2017






BAB  I
PENDAHULUAN
            Ungkapan Soekarno yang sering mengutip dari seorang teoritikus Marxis Austria, Fritz Adler, “Demokrasi yang kita kejar jangan hanya demokrasi politik saja, tetapi kita harus mengejar demokrasi ekonomi”, menunjukkan bahwa cita-cita demokrasi Indonesia tidak hanya memperjuangkan emansipasi dan partisipasi di bidang politik, tetapi juga dibidang ekonomi. Kedua bidang itu tak dapat dipisahkan, ekonomi-sosial Indonesia bersinergi guna mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur.
            Untuk mewujudkannya, negara harus bisa menguasai cabang-cabang produksi penting bagi negara dan hajat hidup orang banyak yaitu dengan cara menguasai kekayaan alam yang hasilnya dapat digunakan rakyat sehingga mampung mengembangkan perekonomian negara. Mungkin sebagian masyarakat awam tidak mengerti hakikat keadilan sosial yang merupakan sila ke 5 Pancasila ini. Seorang penulis Yudi Ladief, membantu menuangkan ide dan gagasannya tentang Pancasila yang berjudul Negara Paripurna.
            Maka dari itu, pemakalah akan mencoba membuat analisis tentang buku Negara Paripurna bab Keadilan Sosial karangan Yudi Latief ini.

BAB II
ANALISA BUKU NEGARA PARIPURNA
BAB KEADILAN SOSIAL
Ikhtisar Keadilan Sosial
1. Perspektif Historis
            “Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja”. Itulah impian bangsa dan negara Indonesia yang selalu mengidam-idamkan terwujudnya Masyarakat adil dan makmur.
            Historiografi memperlihatkan bahwa kawasan Nusantara pada masa pra-kolonial memiliki pertumbuhan ekonomi yang cepat. Kemakmuran Indonesia tersebut bisa dilacak hingga zaman prasejarah sesuai temuan Profesor Stephen Oppenheimer dalam Eden in the East (1999,2010), memperlihatkan pada sekitar 8.000 tahun yang lalu daratan Sunda merupakan pusat kehidupan dunia dengan memelopori pertanian, peternakan, bahkan sudah membuat perahu. Tempat yang subur dan rindang di daerah katulistiwa ini telah menjadi perlintasan manusia zaman es.
            Perbedaan hasil bumi yang dimiliki oleh antar daerah di nusantara menghasilkan persilangan perdagangan. Perekonomian Indonesia pra modern yang erat dengan perdagangan maritimnya menunjukkan hubungan yang erat dengan sistem pemerintahan. Indonesia yang berada di persilangan antara Laut India dengan Laut Cina Selatan menjadikannya pusat perekonomian tersendiri dengan pusat di Jawa. Kawasan perekonomian ini dibagi menjadi Sumatra Timurlaut-Semenanjung Melay, zona Sumatera Selatan-Jawa Barat, zona Laut Jawa (Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan); tiga wilayah timur jawa (Bali/Lombok/Sumba, Sulawesi Selatan, Sumbawa dan Timor); dan Laut Maluku (Sulawesi Utara, Mindanau di utara dan Banda di selatan (Lombok 1999: I, 11-27).
            Pergeseran ke sistem ekonomi liberal didorong oleh uang yang melimpah hasil tanam paksa yang berlaku sejak 1830 dan dimonopoli oleh perusahaan dagang Belanda yaitu Nederlandsche Handel-Maatschappi. (Dick 2002: 15) yang membawa kemakmuran di Belanda. Kemakmuran ini menimbulkan kelas borjuasi (pengusaha dan kelas menengah baru) yang memberi keuntungan pada Belanda. Sistem ini dibangkitkan oleh gelombang liberal dan revolusi demoskratis di Eropa sekitar 1840-an. Hal ini direspon cepat oleh Belanda yang dipimpin Jan Rudolf Thorbecke dengan melakukan perubahan haluan UUD dari konservatisme ke liberalisme (Stromberg 1968: 72-78; Simbolon 1995: 126-127).

2. Negosiasi Konsepsi Keadilan Menuju Sosialisme Ala Indonesia
            Kapitalisme yang timbul dari asas-asas liberal bangsa Eropa, terutama karena penjajahan Belanda dan Jepang yang menggunakan paham kolonialisme benar-benar merampas segala kekayaan dan kemakmuran bangsa Indonesia. Akibat hal itu timbullah dua kelompok pedagang pribumi dan kalangan intelegensia independen yang kemudian berselisih dan disebut kaum mardhika. Kaum mardhika ini lebih condong ke Islam.
            Walaupun perjuangan bangsa Indonesia terhambat akibat adanya konflik ideologis antara kaum intelegensia muslim dan kaum intelegensia komunis yang sebagian besar dari kaum islamis, nasionalis, dan komunis berkumpul disana. Namun, pada akhirnya mereka dapat menjadikan satu tujuan mereka yaitu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial untuk Indonesia.
            Dari berbagai pandangan para pendiri bangsa, terdapat titik temu. Dalam pandangan mereka, cita-cita demokrasi Indonesia lebih luas, tidak saja demokrasi politik tetapi juga demokrasi ekonomi.

3. Keadilan Sosial dalam Perumusan Pancasila dan Konstitusi
            Diskusi tentang  dasar falsafah Negara dalam persidangan BPUPKI diwarnai dengan perbincangan Visi keadilan dan kesejahteraan rakyat yang diidealisasikan oleh peran pemain pergerakan kebangsaan.
            Selama masa reses persidangan BPUPKI (2 Juni – 9 Juli), Panitia Kecil mengumpulkan usul-usul dari 40 anggota Chuo sangi In (lin). Usulan-usulan ini antara lain meliputi: Kemerdekaan Indonesia selekas-lekasnya, Dasar Negara, Daerah Negara, Badan Perwakilan Rakyat, Badan Penasihat, Bentuk Pemerintahan dan Kepala Negara, Soal Agama dan Negara, Soal Pembelaan, dan soal keuangan. Dalam usulan mengenai dasar negara, prinsip keadilan dan kesejahteraan diusulkan secara eksplisit oleh seorang lin dalam tema “Kemakmuran Hidup Bersama”.
            Dalam perkembangan selanjutnya, pemikiran BPUPKI dirumuskan ulang oleh Panitia Sembilan yang merancang Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945. Berdasarkan hasil rumusan Panitia Sembilan, prinsip kesejahteraan, yang disebut sebagai prinsip keempat dalam Pidato Soekarno pada 1 Juni, ditempatkan menjadi sila ke-5. Redaksinya disempurnakan menjadi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
            Hasil rumusan Panitia Perancang Keuangan dan Ekonomi bentukan BPUPKI melahirkan suatu nota tentang “Soal Perekonomian Indonesia Merdeka” dan “Soal Keuangan Indonesia Merdeka”. Nota tentang “Soal Perekonomian Indonesia Merdeka” mengandung ideologi perekonomian yang harus menjadi haluan perekonomian nasional. Ideologi perekonomian ini bersendikan empat prinsip pokok, antara lain:
1. Perekonomian Indonesia akan disasarkan pada cita-cita tolong-menolong dan usaha bersama (kooperasi).
2. Perusahaan-perusahaan besar yang menguasai hidup orang banyak harus di bawah kendali negara, dan dalam penjelmaannya akan berbentuk kooperasi republik.
3. Tanah, sebagai faktor produksi terpenting terutama masyarakat Indonesia, maka harus di bawah kekuasaan negara.
4. Perusahaan tambang yang besar akan dijalankan sebagai usaha negara.
            Demikianlah, prinsip keadilan sosial dari Pancasila mendapatkan perhatian penting dalam Pembukaan UUD 1945. Prinsip keadilan sosial dari Pembukaan UUD 1945 meliputi suasana kebatinan perumusan pasal-pasal UUD 1945 dan dokumen lain yang terkait dengan itu yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum dasar yang tidak tertulis. Komitmen keadilan itu tampak nyata, baik dalam pasal-pasal yang menyangkut pengelolaan keuangan negara yang menekankan pada pemuliaan partisipasi dan kedaulatan rakyat maupun dalam pasal-pasal yang menyangkut pengelolaan perekonomian yang menekankan pada pemenuhan hak warga negara dan jaminan keadilan atau kesejahteraan sosial.

4. Perspektif Teoretis-Komparatif
            Sila keempat mengandung prinsip “demokrasi politik” dan sila kelima mengandung prinsip “demokrasi ekonomi”. Keduanya merefleksikan hasrat bangsa untuk beremansipasi dari penindasan politik-ekonomi dengan memuliakan kedaulatan rakyat melalui pemberdayaan partisipasi warga negara di bidang politik dan ekonomi.
            Dalam perspektif ini, pengembangan ekonomi tidak dapat didasarkan pada paham individualisme-liberalisme. Karena paham tersebut telah melahirkan paham kapitalisme-imperialisme di Tanah Air yang menyengsarakan rakyat kebanyakan. Atas dasar itu, pengembangan perekonomian juga tidak bisa diserahkan pada sistem etatisme. Sistem ini juga berpotensi melahirkan ketidakadilan baru yang bersumber dari pembungkaman hak dan inisiatif warga negara.
            Perwujudan keadilan ekonomi berdasarkan Pancasila harus diletakkan dalam kerangka keadilan dan kesejahteraan “rakyat” secara lebih luas. “Rakyat” dalam arti ini adalah konsepsi politik yang merujuk pada demos (common people) atau kepentingan publik secara keseluruhan, yang mengatasi kepentingan perseorangan dan golongan. Keadilan ekonomi juga harus dilihat keterkaitannya dengan dimensi-dimensi kehidupan publik lainnya, juga pendasarannya pada kesalinghubungan nilai-nilai Pancasila.
            Dengan demikian, ekonomi Pancasila meletakkan keadilan ekonomi dalam kerangka etika, bahwa perekonomian sebagai perilaku manusia dan bagian integral dari sistem sosial tidak bisa mengelak dari imperatif moral. Jika imperatif moral ini tidak dipenuhi, perekonomian bersifat destruktif baik bagi perekonomian itu sendiri maupun bagi bidang-bidang kehidupan yang lain.
5. Pemikiran (keadilan) Ekonomi Pra-Merkantilis
Ketimpangan dalam sistem produksi dan sistem distribusi yang merasuki, dan dilegitimasikan oleh sistem sosial-politik yang ada menimbulkan masalah tersendiri bagi Keadilan Sosial. menurut Aristoteles, ancaman terhadap harmoni sosial oleh tiga gejala, yaitu:
1. Perolehan dijadikan tujuan dan bukan semata-mata sebagai alat kehidupan yang nyaman.
2. Proses akumulasi modal dan kekayaan cenderung tidak mengenal batas, padahal kehidupan nyaman hanya memerlukan materi yang terbatas.
3. Keuntungan sebagian anggota masyarakat diperoleh atas kerugian orang lain.
            Untuk mengoreksi gejala yang mengarah pada ketidakadilan ini, Aristoteles mengajukan dua konsep, yakni keadilan komutatif dan keadilan distributif. Namun hal itu belum cukup. Teori islam menyempurnakannya.
            Teologi islam berbagi kesamaan dengan tradisi pemikiran Graceo-Romawi hingga skolastik, dalam hal penekanannya pada moralitas perekonomian (mengkritik perilaku boros, tamak, nafsu, menimbun, dan kesenangan duniawi secara berlebihan, serta pemberhalaan harta).
            Stimulus Islam terhadap dunia barat mendorong semangat “remains” berasal dari bahasa perancis yang artinya adalah lahir kembali atau kelahiran kembali, maksudnya adalah lahirnya kembali budaya klasik terutama Yunani kuno dan Romawi kuno (kehidupan cemerlang di bidang seni, sastra, pemikiran, dan ilmu pengetahuan yang mengeluarkan Eropa dari kegelapan intelektual pada masa pertengahan). Puncak dari semangat remains ini pada akhir tahun 1500, Adam Smith (1776) menemukan 2 penemuan yang berdampak pada sejarah pasar global dan globalisasi. Pertama, penemuan jalur ke nusantara melalui Tanjung Harapan oleh ekspedisi Portugis (1448). Kedua, penemuan benua Amerika oleh Colombus(1492).
6. Pemikiran (keadilan) Ekonomi Merkantilis
            Doktrin merkantilis yang berkembang pada abad 16-18 didukung oleh para filsuf hukum alam. Dimulai dari Aquinas dalam kerangka penggunaan nalar untuk interpretasi rencana ilahi mengenai apa yang benar dan adil, yang dalam perkembangannya berpengaruh pada penyediaan topangan baru untuk membenarkan perniagaan bebas, Fransisco de Victoria (1557) menerapkan konsep ini pada hubungan antar bangsa, Fransisco Suarez (1612) berkeyakinan bahwa seluruh perniagaan internasional harus bebas, Alberico Gentili “perang barangkali dibenarkan terhadap negara-negara yang menolak untuk berdagang : perang adalah “alamiah” jika dilakukan karena beberapa privilese alam yang ditolak oleh manusia.
            Dua kondisi yang membentuk pemikiran merkantilis kontemporer tentang perdagangan : ekspansi cepat perdagangan dunia, dan eksplorasi seberang laut, serta bangkitnya negara-negara sebagai entitas politik. Pertama, membuka kesempatan besar yang membuat saudagar sebagai suatu kelas terposisikan untuk mengeksploitasi kekayaan baik bagi pribadi maupun negaranya. Kedua, kemunculan negara bangsa sebagai entitas politik utama di panggung dunia, membentuk batas-batas polotik yang jelas dalam kebijakan perdagangan.
            Baru pada abad ke-18 muncul Zaman Pencerahan (Age of Enlightenment) di Eropa yang memiliki wawasan yang lebih kosmopolitan dan lebih liberal dalam pemikirannya, meski lebih merupakan suatu doktrin politik ketimbang ekonomi. Dalam ”Of Commerce”, Hume (1752) memuji perdagangan luar negri karena “memperbesar kekuasaan negara dan juga kekayaan dan kebahagiaan subyek”. Hume menolak isolasi dan pembatasan perdagangan, meski mendukung tarif dan pajak yang menurutnya berguna untuk mendorong industri dalam negeri.
7. Pemikiran (keadilan) Pasca-Merkantilis
            Kecenderungan pemikiran liberalisasi perdagangan melatarbelakangi bagi kemunculan pemikiran ekonomi liberalism klasik (classical liberalism) merupakan menguatnya intervensi negara dalam kehidupan pribadi dan sosial, sehingga negara cenderung menjadikan manusia sebagai alat untuk melayani kebutuhan-kebutuhan arbitrernya, seolah-olah dapat menentukan yang terbaik bagi setiap individunya. Sementara pemikiran ekonomi liberalisme klasik memberi pijakan yang melahirkan kolonialisme, pemikiran ekonomi yang lebih liberal melahirkan neoliberalisme.
            Neoliberalisme cenderung meringkus peran negara, dengan membatasinya sebagai pelayan pasar, neoliberalisme terlalu banyak memberi kebebasan kepada individu, melupakan bahwa individualism yang bersifat predator bisa membawa sumber-sumber penindasan dan ketidakadilannya sendiri. Perbedaan dan perkembangan pengertian-pengertian baru mewarnai paham ini. Pranata negara dianggap mempunyai peran penting dalam melindungi dan mengembangkan masyarakat secara memadai, peran negara aktif akan tetapi tidak menindas.
            Penekanan yang terlalu berlebihan pada daulat pasar menimbulkan megaskandal. Akhirnya, krisis finansial yang berkembang menjadi ekonomi juga menggambarkan superkapitalisme, dengan kata lain “capitalism invadeed democracy”.
            Dalam konteks kecenderungan perekonomian yang semakin bergerak ke jalan tengah serta teori keadilan seperti itu, prinsip sila ke 5 Pancasila memiliki resonansi yang kuat.
            Menurut pancasila, semangat kekeluargaan yang bersifat tolong-menolong merupakan jalan keluar atas kelemahan sistem ekonomi liberal-kapitalis dan etatisme. Dengan menolak paham individualisme-liberalisme yang melahirkan kolonialisme di Indonesia para pendiri bangsa sama-sama mengidealisasikan sosialisme sebagai basis pemenuhan keadilan sosial.
            Paham sosialisme ala Indonesia ini bersendikan nilai-nilai sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan (nilai Pancasila). Praktik paham ini pada intinya menegaskan bahwa hak milik tidak boleh dipergunakan (atau dibiarkan) merugikan masyarakat.
            Jika dipandang dari perspektif teoritis-komparatif, gagasan keadilan sosial menurut paham sosialisme Indonesia sejajar dengan diskursif sosial demokrasi Eropa tapi memiliki akar kesejahteraan tradisi sosialisme-desa dan sosialisme-religius masyarakat Indonesia.
8. Membumikan Keadilan Sosial dalam Kerangka Pancasila
            Indonesia tidak dikehendaki sebagai negara liberal teapi negara kesejahteraan yang tidak menghapuskan hak pribadi seseorang melainkan membatasi penggunaannya sehingga mempunyai fungsi sosial. Dalam realisasi amanat Pancasila ini, usaha keadilan dan kesejahteraan sosial itu harus bersendikan nilai-nilai kekeluargaan Indonesia yang terkandung dalam pancasila.
            Komitmen keadilan menurut alam pemikiran Pancasila berdimendi luas. Peran negara dalam perwujudan keadilan sosial, setidaknya ada dalam kerangka :         
1. Perwujudan relasi yang adil di semua tingkat sistem (kemasyarakatan).
2. Pengembangan struktur yang menyediakan kesetaraan kesempatan.
3. Proses fasilitasi akses atas informasi yang diperlukan.
4. Dukungan atas partisipasi bermakna atas pengambilan keputusan bagi semua orang.
            Usaha mewujudkan keadilan sosial dalam berbagai hubungan ekonomi tersebut diletakkan dalam kerangka etis, imperatif moral Pancasila. Pada intinya, sistem ekonomi Pancasila menekankan usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan, yang beroientasi kerakyatan (publik secara keseluruhan), dengan bersendikan nilai etis ketuhanan menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Sokoguru perekonomian untuk merealisasikan sistem ekonomi Pancasila itu adalah prinsip “gotong-royong”  (kooperasi).
            Dalam pengertian “kata kerja”, sifat kooperasi harus mewarnai segenap komponen sistem ekonomi yang setidaknya meliputi faktor :
1. Kepemilikan sumber daya. Tercermin dalam pasal 33 ayat 2 dan 3 yang intinya, seluruh kekayaan dan sumber daya harus dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.
2. Pelaku ekonomi.
3. Mekanisme penyelenggaraan kegiatan ekonomi.
4. Tujuan yang ingin dicapai.
            Seluruh bentuk badan usaha harus mengembangkan sifat “Kooperasi” (Tolong Menolong). Pembagian peran antara pelaku ekonomi dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Negara menguasai lapangan perekonomian yang menguasai hajat hidup orang banyak.
2. Produksi, pengangkutan dan distribusi bahan penting  diselenggarakan oleh negara, atau sekurang-kurangnya  dikuasai oleh negara.
3. Pemerintah daerah dianjurkan bergerak  dalam ketiga lapangan  produksi, pengangkutan dan distribusi.
4. Kooperasi dianjurkan bergerak di segala lapangan, terutama sektor distribusi.
5. Swasta diberi tempat yang layak dalam sektor produksi dan pengangkutan.
            Kooperasi berfungsi sebagai wahana pendidikan bagi rakyat dalam rangka memperkuat ekonomi dan moral serta keseimbangan antara solidaritas dan individualitas. Kooperasi dianggap sabagai sarana efektif untuk membangun kembali ekonomi rakyat yang tertinggal. Dengan adanya kooperasi produksi, kooperasi yang teratur dan bekerja baik, perusahaan perantara yang sebenarnya tidak perlu, yang hanya memperbesar ongkos dan menaikkan harga, dapat disingkirkan.
            Dalam sendi ekonomi Pancasila, aspek keadilan dipandang sebagai hal yang utama dan harus didahulukan. Dalam pandangan Sri-Edi Swasono, adalah perintah agama bahwa setiap orang harus berlaku adil tanpa menunggu makmur. Tidak ada perbedaan strata sosio-ekonomi di dalam menerapkan asas keadilan. Baik orang miskin maupun orang kaya harus berlaku adil.
            Dalam pengembangan perekonomian, perlu adanya  jaminan sosial dalam bentuk asuransi kesehatan dan ketenagakerjaan, tunjangan hari tua, pengajaran, pemenuhan kebutuhan dasar minimum, terutama bagi orang-orang yang hidup digaris kemiskinan. Inilah pesan yang terkandung dalam pasal 34 “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.


BAB III
PENUTUP
            Prinsip keadilan merupakan inti dari moral Ketuhanan, landasan pokok perikemanusiaan, simpul persatuan, matra kedaulatan rakyat. Sila “keadilan sosial” merupakan perwujudan yang paling kongkret dari prinsip-prinsip pancasila. Satu-satunya sila Pancasila yang dilukisakan dalam Pembukaan UUD 1945 dengan menggunakan kata kerja “Mewujudkan Suatu Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
            Dengan demikian, pokok pikiran keempat UUD 1945 (“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar Kemanusiaan Yang adil dan Beradab”), mengandung isi yang mewajibkan pemerintahan dan lain-lain penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.
            Aspek keadilan dianggap sebagai hal utama dan harus didahulukan sehingga penting sekali untuk kita memahami dan menerapkan sila ke 5 ini dalam kehidupan sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA
Latif, Yudi. 2011. Negara Paripurna. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama


Studi Naskah Tafsir_As-Sya`rawi_ An Nisa` 1-3_Poligami

Tafsir As-Sya`rawi An-Nisa 1-3 (Poligami) Disusun Oleh : Muhammad Fadhlan Syaifudin , Muhammad Muthiurridlo , Ikrom Najibuddin Fakultas...