ANALISA BUKU NEGARA PARIPURNA
BAB KEADILAN
SOSIAL
oleh:
Muhammad
Fadhlan Syaifudin
NIM: 151410507
FAKULTAS
USHULUDDIN
INSTITUT
PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QUR’AN
JAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
Ungkapan Soekarno yang sering
mengutip dari seorang teoritikus Marxis Austria, Fritz Adler, “Demokrasi yang
kita kejar jangan hanya demokrasi politik saja, tetapi kita harus mengejar
demokrasi ekonomi”, menunjukkan bahwa cita-cita demokrasi Indonesia tidak hanya
memperjuangkan emansipasi dan partisipasi di bidang politik, tetapi juga
dibidang ekonomi. Kedua bidang itu tak dapat dipisahkan, ekonomi-sosial
Indonesia bersinergi guna mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur.
Untuk mewujudkannya, negara harus
bisa menguasai cabang-cabang produksi penting bagi negara dan hajat hidup orang
banyak yaitu dengan cara menguasai kekayaan alam yang hasilnya dapat digunakan
rakyat sehingga mampung mengembangkan perekonomian negara. Mungkin sebagian
masyarakat awam tidak mengerti hakikat keadilan sosial yang merupakan sila ke 5
Pancasila ini. Seorang penulis Yudi Ladief, membantu menuangkan ide dan
gagasannya tentang Pancasila yang berjudul Negara Paripurna.
Maka dari itu, pemakalah akan
mencoba membuat analisis tentang buku Negara Paripurna bab Keadilan Sosial
karangan Yudi Latief ini.
BAB II
ANALISA BUKU NEGARA PARIPURNA
BAB KEADILAN SOSIAL
Ikhtisar
Keadilan Sosial
1. Perspektif
Historis
“Gemah ripah loh jinawi, tata
tentrem kerta raharja”. Itulah impian bangsa dan negara Indonesia yang selalu
mengidam-idamkan terwujudnya Masyarakat adil dan makmur.
Historiografi memperlihatkan bahwa
kawasan Nusantara pada masa pra-kolonial memiliki pertumbuhan ekonomi yang
cepat. Kemakmuran Indonesia tersebut bisa dilacak hingga zaman prasejarah
sesuai temuan Profesor Stephen Oppenheimer dalam Eden in the East (1999,2010),
memperlihatkan pada sekitar 8.000 tahun yang lalu daratan Sunda merupakan pusat
kehidupan dunia dengan memelopori pertanian, peternakan, bahkan sudah membuat
perahu. Tempat yang subur dan rindang di daerah katulistiwa ini telah menjadi
perlintasan manusia zaman es.
Perbedaan hasil bumi yang dimiliki
oleh antar daerah di nusantara menghasilkan persilangan perdagangan.
Perekonomian Indonesia pra modern yang erat dengan perdagangan maritimnya
menunjukkan hubungan yang erat dengan sistem pemerintahan. Indonesia yang
berada di persilangan antara Laut India dengan Laut Cina Selatan menjadikannya
pusat perekonomian tersendiri dengan pusat di Jawa. Kawasan perekonomian ini
dibagi menjadi Sumatra Timurlaut-Semenanjung Melay, zona Sumatera Selatan-Jawa
Barat, zona Laut Jawa (Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan); tiga
wilayah timur jawa (Bali/Lombok/Sumba, Sulawesi Selatan, Sumbawa dan Timor);
dan Laut Maluku (Sulawesi Utara, Mindanau di utara dan Banda di selatan (Lombok
1999: I, 11-27).
Pergeseran ke sistem ekonomi liberal
didorong oleh uang yang melimpah hasil tanam paksa yang berlaku sejak 1830 dan
dimonopoli oleh perusahaan dagang Belanda yaitu Nederlandsche
Handel-Maatschappi. (Dick 2002: 15) yang membawa kemakmuran di Belanda.
Kemakmuran ini menimbulkan kelas borjuasi (pengusaha dan kelas menengah baru)
yang memberi keuntungan pada Belanda. Sistem ini dibangkitkan oleh gelombang
liberal dan revolusi demoskratis di Eropa sekitar 1840-an. Hal ini direspon
cepat oleh Belanda yang dipimpin Jan Rudolf Thorbecke dengan melakukan
perubahan haluan UUD dari konservatisme ke liberalisme (Stromberg 1968: 72-78;
Simbolon 1995: 126-127).
2. Negosiasi
Konsepsi Keadilan Menuju Sosialisme Ala Indonesia
Kapitalisme yang timbul dari
asas-asas liberal bangsa Eropa, terutama karena penjajahan Belanda dan Jepang
yang menggunakan paham kolonialisme benar-benar merampas segala kekayaan dan
kemakmuran bangsa Indonesia. Akibat hal itu timbullah dua kelompok pedagang
pribumi dan kalangan intelegensia independen yang kemudian berselisih dan
disebut kaum mardhika. Kaum mardhika ini lebih condong ke Islam.
Walaupun perjuangan bangsa Indonesia
terhambat akibat adanya konflik ideologis antara kaum intelegensia muslim dan
kaum intelegensia komunis yang sebagian besar dari kaum islamis, nasionalis,
dan komunis berkumpul disana. Namun, pada akhirnya mereka dapat menjadikan satu
tujuan mereka yaitu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial untuk
Indonesia.
Dari berbagai pandangan para pendiri
bangsa, terdapat titik temu. Dalam pandangan mereka, cita-cita demokrasi
Indonesia lebih luas, tidak saja demokrasi politik tetapi juga demokrasi
ekonomi.
3. Keadilan
Sosial dalam Perumusan Pancasila dan Konstitusi
Diskusi tentang dasar falsafah
Negara dalam persidangan BPUPKI diwarnai dengan perbincangan Visi keadilan dan
kesejahteraan rakyat yang diidealisasikan oleh peran pemain pergerakan
kebangsaan.
Selama masa reses persidangan BPUPKI
(2 Juni – 9 Juli), Panitia Kecil mengumpulkan usul-usul dari 40 anggota Chuo
sangi In (lin). Usulan-usulan ini antara lain meliputi: Kemerdekaan Indonesia
selekas-lekasnya, Dasar Negara, Daerah Negara, Badan Perwakilan Rakyat, Badan
Penasihat, Bentuk Pemerintahan dan Kepala Negara, Soal Agama dan Negara, Soal
Pembelaan, dan soal keuangan. Dalam usulan mengenai dasar negara, prinsip
keadilan dan kesejahteraan diusulkan secara eksplisit oleh seorang lin dalam
tema “Kemakmuran Hidup Bersama”.
Dalam perkembangan selanjutnya,
pemikiran BPUPKI dirumuskan ulang oleh Panitia Sembilan yang merancang
Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945. Berdasarkan hasil rumusan Panitia
Sembilan, prinsip kesejahteraan, yang disebut sebagai prinsip keempat dalam
Pidato Soekarno pada 1 Juni, ditempatkan menjadi sila ke-5. Redaksinya
disempurnakan menjadi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Hasil rumusan Panitia Perancang
Keuangan dan Ekonomi bentukan BPUPKI melahirkan suatu nota tentang “Soal
Perekonomian Indonesia Merdeka” dan “Soal Keuangan Indonesia Merdeka”. Nota
tentang “Soal Perekonomian Indonesia Merdeka” mengandung ideologi perekonomian
yang harus menjadi haluan perekonomian nasional. Ideologi perekonomian ini
bersendikan empat prinsip pokok, antara lain:
1. Perekonomian
Indonesia akan disasarkan pada cita-cita tolong-menolong dan usaha bersama
(kooperasi).
2.
Perusahaan-perusahaan besar yang menguasai hidup orang banyak harus di bawah
kendali negara, dan dalam penjelmaannya akan berbentuk kooperasi republik.
3. Tanah,
sebagai faktor produksi terpenting terutama masyarakat Indonesia, maka harus di
bawah kekuasaan negara.
4. Perusahaan
tambang yang besar akan dijalankan sebagai usaha negara.
Demikianlah, prinsip keadilan sosial
dari Pancasila mendapatkan perhatian penting dalam Pembukaan UUD 1945. Prinsip
keadilan sosial dari Pembukaan UUD 1945 meliputi suasana kebatinan perumusan
pasal-pasal UUD 1945 dan dokumen lain yang terkait dengan itu yang dapat
dijadikan sebagai sumber hukum dasar yang tidak tertulis. Komitmen keadilan itu
tampak nyata, baik dalam pasal-pasal yang menyangkut pengelolaan keuangan
negara yang menekankan pada pemuliaan partisipasi dan kedaulatan rakyat maupun
dalam pasal-pasal yang menyangkut pengelolaan perekonomian yang menekankan pada
pemenuhan hak warga negara dan jaminan keadilan atau kesejahteraan sosial.
4. Perspektif
Teoretis-Komparatif
Sila keempat mengandung prinsip
“demokrasi politik” dan sila kelima mengandung prinsip “demokrasi ekonomi”.
Keduanya merefleksikan hasrat bangsa untuk beremansipasi dari penindasan
politik-ekonomi dengan memuliakan kedaulatan rakyat melalui pemberdayaan
partisipasi warga negara di bidang politik dan ekonomi.
Dalam perspektif ini, pengembangan
ekonomi tidak dapat didasarkan pada paham individualisme-liberalisme. Karena
paham tersebut telah melahirkan paham kapitalisme-imperialisme di Tanah Air
yang menyengsarakan rakyat kebanyakan. Atas dasar itu, pengembangan
perekonomian juga tidak bisa diserahkan pada sistem etatisme. Sistem ini juga
berpotensi melahirkan ketidakadilan baru yang bersumber dari pembungkaman hak
dan inisiatif warga negara.
Perwujudan keadilan ekonomi
berdasarkan Pancasila harus diletakkan dalam kerangka keadilan dan
kesejahteraan “rakyat” secara lebih luas. “Rakyat” dalam arti ini adalah
konsepsi politik yang merujuk pada demos (common people) atau kepentingan
publik secara keseluruhan, yang mengatasi kepentingan perseorangan dan
golongan. Keadilan ekonomi juga harus dilihat keterkaitannya dengan dimensi-dimensi
kehidupan publik lainnya, juga pendasarannya pada kesalinghubungan nilai-nilai
Pancasila.
Dengan demikian, ekonomi Pancasila
meletakkan keadilan ekonomi dalam kerangka etika, bahwa perekonomian sebagai
perilaku manusia dan bagian integral dari sistem sosial tidak bisa mengelak
dari imperatif moral. Jika imperatif moral ini tidak dipenuhi, perekonomian
bersifat destruktif baik bagi perekonomian itu sendiri maupun bagi
bidang-bidang kehidupan yang lain.
5. Pemikiran
(keadilan) Ekonomi Pra-Merkantilis
Ketimpangan
dalam sistem produksi dan sistem distribusi yang merasuki, dan dilegitimasikan
oleh sistem sosial-politik yang ada menimbulkan masalah tersendiri bagi
Keadilan Sosial. menurut Aristoteles, ancaman terhadap harmoni sosial oleh tiga
gejala, yaitu:
1. Perolehan
dijadikan tujuan dan bukan semata-mata sebagai alat kehidupan yang nyaman.
2. Proses
akumulasi modal dan kekayaan cenderung tidak mengenal batas, padahal kehidupan
nyaman hanya memerlukan materi yang terbatas.
3. Keuntungan
sebagian anggota masyarakat diperoleh atas kerugian orang lain.
Untuk mengoreksi gejala yang
mengarah pada ketidakadilan ini, Aristoteles mengajukan dua konsep, yakni
keadilan komutatif dan keadilan distributif. Namun hal itu belum cukup. Teori
islam menyempurnakannya.
Teologi islam berbagi kesamaan
dengan tradisi pemikiran Graceo-Romawi hingga skolastik, dalam hal penekanannya
pada moralitas perekonomian (mengkritik perilaku boros, tamak, nafsu, menimbun,
dan kesenangan duniawi secara berlebihan, serta pemberhalaan harta).
Stimulus Islam terhadap dunia barat
mendorong semangat “remains” berasal dari bahasa perancis yang artinya adalah
lahir kembali atau kelahiran kembali, maksudnya adalah lahirnya kembali budaya
klasik terutama Yunani kuno dan Romawi kuno (kehidupan cemerlang di bidang
seni, sastra, pemikiran, dan ilmu pengetahuan yang mengeluarkan Eropa dari
kegelapan intelektual pada masa pertengahan). Puncak dari semangat remains ini
pada akhir tahun 1500, Adam Smith (1776) menemukan 2 penemuan yang berdampak
pada sejarah pasar global dan globalisasi. Pertama, penemuan jalur ke nusantara
melalui Tanjung Harapan oleh ekspedisi Portugis (1448). Kedua, penemuan benua
Amerika oleh Colombus(1492).
6. Pemikiran
(keadilan) Ekonomi Merkantilis
Doktrin merkantilis yang berkembang
pada abad 16-18 didukung oleh para filsuf hukum alam. Dimulai dari Aquinas
dalam kerangka penggunaan nalar untuk interpretasi rencana ilahi mengenai apa
yang benar dan adil, yang dalam perkembangannya berpengaruh pada penyediaan
topangan baru untuk membenarkan perniagaan bebas, Fransisco de Victoria (1557)
menerapkan konsep ini pada hubungan antar bangsa, Fransisco Suarez (1612)
berkeyakinan bahwa seluruh perniagaan internasional harus bebas, Alberico
Gentili “perang barangkali dibenarkan terhadap negara-negara yang menolak untuk
berdagang : perang adalah “alamiah” jika dilakukan karena beberapa privilese
alam yang ditolak oleh manusia.
Dua kondisi yang membentuk pemikiran
merkantilis kontemporer tentang perdagangan : ekspansi cepat perdagangan dunia,
dan eksplorasi seberang laut, serta bangkitnya negara-negara sebagai entitas
politik. Pertama, membuka kesempatan besar yang membuat saudagar sebagai suatu
kelas terposisikan untuk mengeksploitasi kekayaan baik bagi pribadi maupun
negaranya. Kedua, kemunculan negara bangsa sebagai entitas politik utama di
panggung dunia, membentuk batas-batas polotik yang jelas dalam kebijakan
perdagangan.
Baru pada abad ke-18 muncul Zaman
Pencerahan (Age of Enlightenment) di Eropa yang memiliki wawasan yang lebih
kosmopolitan dan lebih liberal dalam pemikirannya, meski lebih merupakan suatu
doktrin politik ketimbang ekonomi. Dalam ”Of Commerce”, Hume (1752) memuji
perdagangan luar negri karena “memperbesar kekuasaan negara dan juga kekayaan
dan kebahagiaan subyek”. Hume menolak isolasi dan pembatasan perdagangan, meski
mendukung tarif dan pajak yang menurutnya berguna untuk mendorong industri
dalam negeri.
7. Pemikiran
(keadilan) Pasca-Merkantilis
Kecenderungan pemikiran liberalisasi
perdagangan melatarbelakangi bagi kemunculan pemikiran ekonomi liberalism
klasik (classical liberalism) merupakan menguatnya intervensi negara dalam
kehidupan pribadi dan sosial, sehingga negara cenderung menjadikan manusia
sebagai alat untuk melayani kebutuhan-kebutuhan arbitrernya, seolah-olah dapat
menentukan yang terbaik bagi setiap individunya. Sementara pemikiran ekonomi
liberalisme klasik memberi pijakan yang melahirkan kolonialisme, pemikiran
ekonomi yang lebih liberal melahirkan neoliberalisme.
Neoliberalisme cenderung meringkus
peran negara, dengan membatasinya sebagai pelayan pasar, neoliberalisme terlalu
banyak memberi kebebasan kepada individu, melupakan bahwa individualism yang
bersifat predator bisa membawa sumber-sumber penindasan dan ketidakadilannya
sendiri. Perbedaan dan perkembangan pengertian-pengertian baru mewarnai paham
ini. Pranata negara dianggap mempunyai peran penting dalam melindungi dan
mengembangkan masyarakat secara memadai, peran negara aktif akan tetapi tidak
menindas.
Penekanan yang terlalu berlebihan
pada daulat pasar menimbulkan megaskandal. Akhirnya, krisis finansial yang
berkembang menjadi ekonomi juga menggambarkan superkapitalisme, dengan kata
lain “capitalism invadeed democracy”.
Dalam konteks kecenderungan perekonomian
yang semakin bergerak ke jalan tengah serta teori keadilan seperti itu, prinsip
sila ke 5 Pancasila memiliki resonansi yang kuat.
Menurut pancasila, semangat
kekeluargaan yang bersifat tolong-menolong merupakan jalan keluar atas
kelemahan sistem ekonomi liberal-kapitalis dan etatisme. Dengan menolak paham
individualisme-liberalisme yang melahirkan kolonialisme di Indonesia para
pendiri bangsa sama-sama mengidealisasikan sosialisme sebagai basis pemenuhan
keadilan sosial.
Paham sosialisme ala Indonesia ini
bersendikan nilai-nilai sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan
(nilai Pancasila). Praktik paham ini pada intinya menegaskan bahwa hak milik
tidak boleh dipergunakan (atau dibiarkan) merugikan masyarakat.
Jika dipandang dari perspektif teoritis-komparatif,
gagasan keadilan sosial menurut paham sosialisme Indonesia sejajar dengan
diskursif sosial demokrasi Eropa tapi memiliki akar kesejahteraan tradisi
sosialisme-desa dan sosialisme-religius masyarakat Indonesia.
8. Membumikan
Keadilan Sosial dalam Kerangka Pancasila
Indonesia tidak dikehendaki sebagai
negara liberal teapi negara kesejahteraan yang tidak menghapuskan hak pribadi
seseorang melainkan membatasi penggunaannya sehingga mempunyai fungsi sosial.
Dalam realisasi amanat Pancasila ini, usaha keadilan dan kesejahteraan sosial
itu harus bersendikan nilai-nilai kekeluargaan Indonesia yang terkandung dalam
pancasila.
Komitmen keadilan menurut alam
pemikiran Pancasila berdimendi luas. Peran negara dalam perwujudan keadilan
sosial, setidaknya ada dalam kerangka :
1. Perwujudan
relasi yang adil di semua tingkat sistem (kemasyarakatan).
2. Pengembangan
struktur yang menyediakan kesetaraan kesempatan.
3. Proses
fasilitasi akses atas informasi yang diperlukan.
4. Dukungan
atas partisipasi bermakna atas pengambilan keputusan bagi semua orang.
Usaha mewujudkan keadilan sosial
dalam berbagai hubungan ekonomi tersebut diletakkan dalam kerangka etis,
imperatif moral Pancasila. Pada intinya, sistem ekonomi Pancasila menekankan
usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan, yang beroientasi kerakyatan
(publik secara keseluruhan), dengan bersendikan nilai etis ketuhanan menurut
dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Sokoguru perekonomian untuk
merealisasikan sistem ekonomi Pancasila itu adalah prinsip “gotong-royong”
(kooperasi).
Dalam pengertian “kata kerja”, sifat
kooperasi harus mewarnai segenap komponen sistem ekonomi yang setidaknya
meliputi faktor :
1. Kepemilikan
sumber daya. Tercermin dalam pasal 33 ayat 2 dan 3 yang intinya, seluruh
kekayaan dan sumber daya harus dikuasai oleh negara dan digunakan
sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.
2. Pelaku
ekonomi.
3. Mekanisme
penyelenggaraan kegiatan ekonomi.
4. Tujuan yang
ingin dicapai.
Seluruh bentuk badan usaha harus
mengembangkan sifat “Kooperasi” (Tolong Menolong). Pembagian peran antara
pelaku ekonomi dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Negara
menguasai lapangan perekonomian yang menguasai hajat hidup orang banyak.
2. Produksi,
pengangkutan dan distribusi bahan penting diselenggarakan oleh negara,
atau sekurang-kurangnya dikuasai oleh negara.
3. Pemerintah
daerah dianjurkan bergerak dalam ketiga lapangan produksi,
pengangkutan dan distribusi.
4. Kooperasi
dianjurkan bergerak di segala lapangan, terutama sektor distribusi.
5. Swasta
diberi tempat yang layak dalam sektor produksi dan pengangkutan.
Kooperasi berfungsi sebagai wahana
pendidikan bagi rakyat dalam rangka memperkuat ekonomi dan moral serta
keseimbangan antara solidaritas dan individualitas. Kooperasi dianggap sabagai
sarana efektif untuk membangun kembali ekonomi rakyat yang tertinggal. Dengan
adanya kooperasi produksi, kooperasi yang teratur dan bekerja baik, perusahaan
perantara yang sebenarnya tidak perlu, yang hanya memperbesar ongkos dan
menaikkan harga, dapat disingkirkan.
Dalam sendi ekonomi Pancasila, aspek
keadilan dipandang sebagai hal yang utama dan harus didahulukan. Dalam
pandangan Sri-Edi Swasono, adalah perintah agama bahwa setiap orang harus
berlaku adil tanpa menunggu makmur. Tidak ada perbedaan strata sosio-ekonomi di
dalam menerapkan asas keadilan. Baik orang miskin maupun orang kaya harus
berlaku adil.
Dalam pengembangan perekonomian,
perlu adanya jaminan sosial dalam bentuk asuransi kesehatan dan
ketenagakerjaan, tunjangan hari tua, pengajaran, pemenuhan kebutuhan dasar
minimum, terutama bagi orang-orang yang hidup digaris kemiskinan. Inilah pesan
yang terkandung dalam pasal 34 “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara
oleh negara”.
BAB III
PENUTUP
Prinsip keadilan merupakan inti dari
moral Ketuhanan, landasan pokok perikemanusiaan, simpul persatuan, matra kedaulatan
rakyat. Sila “keadilan sosial” merupakan perwujudan yang paling kongkret dari
prinsip-prinsip pancasila. Satu-satunya sila Pancasila yang dilukisakan dalam
Pembukaan UUD 1945 dengan menggunakan kata kerja “Mewujudkan Suatu Keadilan
Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
Dengan demikian, pokok pikiran
keempat UUD 1945 (“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar
Kemanusiaan Yang adil dan Beradab”), mengandung isi yang mewajibkan
pemerintahan dan lain-lain penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti
kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.
Aspek keadilan dianggap sebagai hal
utama dan harus didahulukan sehingga penting sekali untuk kita memahami dan
menerapkan sila ke 5 ini dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Latif, Yudi.
2011. Negara Paripurna. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
http://www.belbuk.com/negara-paripurna-historisitas-rasionalitas-dan-aktualitas- pancasila-hard-cover-p-20853.html